SASTRA | TD – Sosok William Shakespeare sebagai penulis drama terbaik di zaman Ratu Elizabeth I, penguasa Inggris abad ke-16, menjadi abadi karena penerbitan karyanya oleh kedua sahabatnya.
John Heminges dan Henry Condell, kedua rekannya dari perkumpulan teater King’s Men, mengumpulkan 36 naskah drama William Shakespeare dalam format folio untuk menghormati kiprah dan jasanya.
“First Folio” Sebagai Penghargaan Atas Kiprah Shakespeare
Buku yang disebut sebagai “First Folio” itu terbit tahun 1623. Sebelumnya, seorang rekan lainnya, Ben Johnson, menerbitkan karya yang lebih lengkap dari Shakespeare pada tahun 1616 setebal 907 halaman.
First Folio kemudian dicetak ulang dengan perbaikan dan penambahan naskah lainnya hingga edisi keempat. Namun, edisi pertama sajalah yang kemudian disebut autentik dan menjadi rujukan utama dalam berbagai studi dan pertunjukan.
Dari naskah-naskah tersebut, beberapa pengamat mengatakan William Shakespeare, tidak berusaha menuliskan sejarah, dan bahkan menjauhi topik-topik agama karena sangat berisiko terkait perpecahan antara aliran gereja saat itu.
Namun, karya-karyanya merupakan mengungkapkan apa yang ia amati dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masanya. Ben Johnson mengatakan bahwa Shakespeare adalah ‘jiwa zaman’. Ben juga mengungkapkan bahwa Shakespeare sangat ketat dalam menulis naskah, sehingga sangat jarang ada noda di kertasnya.
Kritik untuk Shakespeare
Meskipun demikian, kritikus sastra John Dryden mengatakan meskipun Shakespeare hebat dalam menghadirkan kembali sebuah peristiwa besar, tetapi ia memiliki ketidakkonsistenan dengan lebih memilih permainan kata sehingga justru menimbulkan sesuatu yang datar dan hambar.
Dan, meskipun besar dan berpengaruh, terdapat beberapa penulis yang tidak menyukai Shakespeare. Misalnya Voltaire yang mengatakan Shakespeare tidak memiliki selera yang baik dan juga tidak memahami aturan drama. Sedangkan Leo Tolstoy mengatakan karya Shakespeare sangat membosankan.
Sumbangsih Bahasa dari Shakespeare
Dalam perannya sebagai penulis, Shakespeare berhasil membuat ungkapan-ungkapan baru yang ekspresif, serta kosakata baru yang digunakan hingga sekarang.
Beberapa ungkapan ekspresifnya yaitu:
– “a fool’s paradise” (bahagia tanpa memahami),
– “ay, there’s the rub” (di situlah sulitnya),
– “a tower of strength” (menara kekuatan),
– “bated breath” (menahan napas karena tegang atau gembira),
– “dead as a doornail” (benar-benar mati),
– “love is blind” (cinta itu buta),
– “my own flesh and blood” (darah serta daging milikkku sendiri),
– “never-ending” (tak pernah berakhir),
– “shooting star” (meteor),
– “something in the wind” (merasa sesuatu yang penting akan terjadi),
– “milk of human kindness” (kasih sayang dan simpati).
Sedangkan beberapa kosakata baru yang ia sumbangkan yakni:
– “academe“,
– “advertising“,
– “circumstantial“,
– “drug“,
– “employer“,
– “engagement“,
– “epileptic“,
– “fashionable“,
– “glow“,
– “gossip“,
– “investment“,
– “partner“,
– “petition“,
– “rival“,
– “traditional“,
– “roadway“.
Dan, masih banyak lagi.
Karena kiprahnya yang besar, William Shakespeare juga dijuluki “Bard of Avon” atau pujangga dari Avon, suatu wilayah administratif di mana Stratford terletak di negara Inggris saat itu.
William Shakespeare adalah yang terbesar di antara semua penulis drama pada masanya. Saat itu terdapat sekitar 300 orang penulis yang rutin diminta oleh penguasa Inggris untuk memberikan naskah.
Ini merupakan tradisi lama yang meyakini keajaiban drama. Selain untuk menghibur rakyat dan memperkuat kesan pemerintahan, drama juga digunakan sebagai bagian dari kehidupan rohani untuk menceritakan kisah para orang suci.
Namun, pada masa Shakespeare, drama kemudian berkembang dengan menyajikan peristiwa-peristiwa yang lebih dekat dengan pribadi manusia dan sejarah.
Karya-karya Shakespeare Menjadi Referensi Berbagai Penelitian Ilmu
Kritikus Inggris, AC Bradley, mengatakan bahwa karakter tokoh dalam karya Shakespeare merupakan cerminan keseharian manusia.
Bradley juga mengatakan bahwa karakter yang tragis sekalipun pada karya Shakespeare, bahan-bahannya, dapat ditemukan dalam diri kita masing-masing.
Penjelajahan jiwa yang dilakukan Shakespeare dalam menuliskan naskah drama menyebabkan karya-karyanya selalu menjadi bahan interpretasi. Dalam analisa Freudian misalnya, atau dalam Marxisme, feminisme, dan kritik perekonomian. (Pat)