Dari Jalanan Punk ke Panggung Besar: Kisah Inspiratif MCPR dalam Menggugah Kesadaran Sosial

waktu baca 5 menit
Sabtu, 21 Sep 2024 06:07 0 233 Redaksi

PROFIL| TD – Musik punk rock, dengan semangatnya yang menggebu dan lirik yang penuh kritik sosial, telah melahirkan banyak band yang mencuri perhatian. Salah satu band yang patut diperhitungkan dalam kancah musik Indonesia adalah MCPR. Berasal dari kota Solo, band ini telah melalui perjalanan yang penuh liku dan dinamika, menciptakan kekuatan musik yang tak hanya menghibur tetapi juga menyentuh isu-isu kemanusiaan. Dalam artikel ini, kita akan menyelami lebih dalam biografi MCPR, mulai dari awal berdirinya, perubahan nama, hingga karya-karya yang mereka hasilkan.

Awal Mula Terbentuknya Band Punk di Solo

Dikenal sebagai salah satu pelopor musik punk rock di Solo, band ini terbentuk pada tahun 2006. Terdiri dari empat personEl: Alby (Encik) pada gitar, Iman (Kece) yang memegang bass dan vokal, Nanda (Gundul) sebagai gitaris, dan Wiwin yang mengisi posisi drum. Mereka adalah teman sekampung yang tumbuh dalam lingkungan komunitas punk yang dikenal sebagai Berondongan Punk, yang kini telah bertransformasi menjadi Maladaptif Terror Crew. Lingkungan ini menjadi fondasi awal bagi mereka untuk mengekspresikan kreativitas melalui musik punk yang mereka cintai.

Perjalanan mereka dimulai dengan penampilan di acara-acara kecil, seperti gigs lokal, bazar, dan perayaan hari kemerdekaan. Mereka memainkan genre punk rock yang mencerminkan semangat masyarakat punk di Solo. Dengan dukungan dari komunitas dan teman-teman, mereka berusaha menghidupkan musik punk dalam bentuk yang segar dan relevan.

Nama yang Spontan dan Perubahan Dinamika

Nama band yang awalnya muncul secara spontan dari salah satu anggota tanpa ada makna khusus yang mendalam. Meskipun demikian, semua anggota sepakat untuk menggunakan nama tersebut. Seiring berjalannya waktu, dinamika internal band mulai terganggu. Banyak personEl yang keluar-masuk, dan kekhawatiran tentang kelangsungan band semakin meningkat. Hanya Alby dan Nanda yang tersisa saat konflik internal memuncak, meninggalkan mereka dalam kebimbangan untuk melanjutkan atau tidak.

Namun, berkat dukungan komunitas dan lingkungan di sekitar mereka, band ini tetap bertahan. Alby, yang kini posisi sebagai vokalis, merasa tertekan dengan identitas band yang mungkin sudah tidak lagi relevan dengan karya-karya yang dihasilkan. Dia mulai merenungkan nama band dan bagaimana hal itu mencerminkan evolusi musik mereka.

Evolusi Karya dan Tema yang Diangkat

Ketika band ini mulai menghasilkan karya-karya terbaru, Alby menyadari bahwa lirik yang mereka ciptakan mulai beralih dari tema-tema konfrontatif dan kasar menjadi fokus pada isu-isu kemanusiaan dan perdamaian. Album pertama mereka, “Make Love Not War,” yang dirilis pada tahun 2012, menjadi titik balik yang signifikan. Proses pembuatan album ini memakan waktu dari tahun 2009 hingga 2012, dan 90 persen dari lagu-lagu dalam album tersebut ditulis oleh Alby.

Dalam album ini, mereka mengangkat berbagai isu yang relevan dengan masyarakat Indonesia, seperti pluralisme, kekerasan, dan bullying. Alby mencatat bahwa mereka ingin menyampaikan pesan damai dan mengajak pendengar untuk memiliki sudut pandang yang lebih inklusif. Karya-karya tersebut menjadi cerminan dari perubahan dalam diri mereka, dan pergeseran tema ini membuat Alby merasa bahwa nama band sudah tidak lagi sejalan dengan apa yang ingin mereka sampaikan.

Perjalanan Menuju Identitas Baru

Di tengah perjalanan mereka, Alby merasa bahwa nama yang mereka gunakan kurang mencerminkan esensi musik dan lirik yang dihasilkan. Dalam sebuah wawancara, dia mengungkapkan bahwa nama tersebut tidak sinkron dengan tema-tema damai dan pluralisme yang kini menjadi fokus mereka. Selain itu, nama band juga menjadi bagian penting dari branding yang dapat mempengaruhi penerimaan masyarakat. Dengan semakin banyaknya tampil di acara-acara yang lebih formal, mereka ingin memastikan bahwa nama band tidak disalahartikan.

Pada tahun 2015, setelah beberapa perubahan personel, band ini akhirnya resmi berganti nama menjadi MCPR. Nama baru ini diharapkan dapat menciptakan identitas yang lebih kuat dan relevan dengan karya-karya yang mereka hasilkan. Momen ini juga menandai dimulainya era baru bagi band tersebut, dengan semangat yang diperbarui dan visi yang lebih jelas.

Karya Terbaru dan Capaian

Setelah perubahan nama, MCPR mulai memperluas jangkauan musik mereka dan terus menghasilkan karya-karya yang semakin matang. Formasi baru dengan Alby, Hendra, Josep, dan Kholis membawa warna baru dalam musik mereka. Album-album yang mereka luncurkan tidak hanya menjadi sarana ekspresi, tetapi juga menjadi media untuk menyuarakan isu-isu sosial yang penting.

Salah satu lagu yang paling dikenal dari MCPR adalah “Selamat Pagi Solo,” yang mencerminkan kecintaan mereka terhadap kota asal. Dengan lirik yang menyentuh dan melodi yang catchy, lagu ini menjadi salah satu anthem yang disukai masyarakat Solo. Selain itu, karya-karya mereka terus mengeksplorasi tema-tema cinta, perdamaian, dan kesadaran sosial.

Semangat dan teladan dari MCPR

Perjalanan band ini yang kini dikenal sebagai MCPR adalah contoh nyata bagaimana sebuah band dapat bertransformasi seiring dengan perubahan zaman dan pengalaman. Dari awal yang sederhana sebagai teman sekampung hingga menjadi band yang diperhitungkan di industri musik Indonesia, MCPR terus menunjukkan semangat yang tak kenal lelah. Dengan lagu-lagu yang berbicara tentang isu-isu kemanusiaan dan perdamaian, MCPR membuktikan bahwa musik punk rock tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga sarana untuk menyebarkan pesan positif kepada masyarakat.

Kini, setelah 16 tahun berkarya, MCPR tetap menjadi bagian penting dari ekosistem musik di Solo, dengan harapan untuk terus mengeluarkan karya-karya yang menginspirasi dan relevan bagi generasi mendatang. Dengan berbagai rencana dan proyek yang sedang berjalan, kita dapat menantikan apa yang akan dihadirkan oleh band ini di masa depan. (Red)

Unggulan

LAINNYA