Bocah Sepuluh Tahun di Kota Benteng

waktu baca 2 menit
Jumat, 4 Agu 2023 10:16 0 73 Patricia Pawestri

Bocah sepuluh tahun berjalan di sepanjang trotoar.
Karung goni berlubang di pundak bawah matahari, adalah wajah Kota Benteng yang abai.
O setiap menatap wajah bocah itu aku teringat pada tarian seremonial dalam upacara kebudayaan
dan festival-festival yang megah. Semuanya seperti seketika diseret angin, ringsek di dalam botol bekas yang diremas
dan dikarungi olehnya.

Aku tidak kasihan kepadanya. Tidak juga aku hendak meminta jagat manusia memberi iba.
Bagiku, ia adalah lelaki bermartabat lahir sebagai petarung
tanpa perlu masuk sekolah menulis rumus matematika, tata-bahasa, tata-warna
dan semua ilmu hidup yang datang dari pengetahuan para guru
juga semua yang orang sebut buku. Ia terlalu tangguh dan di mataku.
Ia sering menjelma begitu banyak hal.

Bocah itu adalah gedung kesenian
–semua yang kita kenal
sebagai pertunjukan maha karya. Bocah itu adalah Undang-Undang
–pasal keberadilan dan kemakmuran yang kita kunyah saban upacara kenegaraan sambil menggerutu malas karena bosan meladeni agenda
acara yang melulu begitu.
Bocah itu adalah lampu pada malam hari untuk semua waktu tidur
di mana kita lelap dalam mendengkur setelah merapikan beberapa mimpi
di balik tilam dan peluk sepasang tangan kita.

Bocah itu adalah matahari
bagi semua jam kerja yang sibuk dan catatan pendapatan kas negara.

Ia telah menaklukkan bahasa kemajuan dan meletakkannya di telapak kaki.
Membawa pergi ke lorong-lorong mengoyak tempat pembuangan sampah. Bila orang sedikit saja lapar sudah gemetar lapar diperutnya adalah gendang koplo;
ia bergoyang sepanjang jalan menembus petang, menembus subuh. Bila orang ketar-ketir saat kursinya digeser sedikit, takut tak berkuasa, kursi bocah itu adalah semua tanah dan semua langit. Ia memiliki tahta pada semesta tak berbatas.

Gerak karung goni di pundaknya adalah sebuah dunia yang utuh. Dunia tidak tersentuh olah olahan kata di bawah meja-meja.
Kota Benteng yang abai ini? Terlalu kecil untuk hidupnya yang agung.
Bila ia mati, entah jauh atau dekat dari rumah para pembesar yang suka berkhotbah di layar televisi
derai lonceng di seribu gereja
bedug-bedug di masjid akan terasa senyap.
Tak ada orang yang mengenalnya dan tak ada yang akan menangisinya tapi kota yang abai ini
akan meratap sepanjang tahun dirundung duka seluruh musim.

Bocah sepuluh tahun berjalan di sepanjang trotoar.
Karung goni berlubang
di pundak bawah matahari itu, alangkah cerah sepasang matanya. Semua yang kukenal sebagai cahaya seperti lindap seketika.
Jauh ia terus berjalan ke selatan menembus kabut subuh menderapi jam demi jam
yang dimiliki orang-orang tidur

Tangerang, 17 Februari 2021

LAINNYA