Tindakan pembuangan bayi adalah tindak kejahatan serius, karena berkaitan dengan nyawa manusia. Tindakan ini biasanya dilakukan karena ketidaksiapan merawat bayi, atau karena pergaulan bebas.
Di Indonesia, Komisi Perlindungan Anak dibentuk untuk mengupayakan pemenuhan dan perlindungan hak anak.
Kejahatan pembuangan bayi menghancurkan moral dan nilai norma sekaligus merendahkan derajat manusia. Moralitas agama pun sangat mempengaruhi terjadinya tindakan tersebut.
Pelaku pembuangan bayi dapat dijerat dengan beberapa ketentuan hukum. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tepatnya Pasal 80 huruf © di mana kondisi anak yang dibuang menjadi meninggal dunia karena pembuangannya maka pelaku dipidana penjara minimal 15 tahun atau denda 3 miliar rupiah.
Menilik penyebab pembuangan bayi, sebuah laporan tertulis dalam Jurnal Analogi Hukum mengatakan ada 2 jenis penyebab kasus pembuangan bayi. Yakni faktor internal dan eksternal.
Faktor internal pembuangan bayi adalah faktor yang berasal dari dalam diri pelaku. Di antaranya faktor usia pelaku, faktor belum siap menikah, dan faktor perasaan malu.
Pelaku yang berusia muda mungkin sekali tidak dapat membedakan mana tindakan yang salah dan yang benar.
Ketidaksiapan menikah dapat disebabkan karena menikah memerlukan biaya yang besar. Tanggung jawab yang besar pun menanti setelah menikah. Maka pelaku memutuskan mengambil jalan pintas untuk membuang bayinya sendiri.
Perasaan malu juga dapat mendorong pelaku untuk membuang bayinya. Melahirkan dalam keadaan tidak menikah atau berzina tentu akan mendapat gunjingan dari masyarakat.
Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor lingkungan, faktor kurangnya perhatian orang tua, faktor ketakutan dikucilkan oleh masyarakat sekitar, terjadinya kehamilan di luar pernikahan, dan dampak globalisasi atau media sosial.
Faktor eksternal yang sangat mempengaruhi pelaku usia muda untuk membuang bayinya adalah kurangnya perhatian dan pengawasan keluarga. Perhatian dan kasih sayang keluarga dapat mencegah dan mengendalikan perilaku tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak aparat hukum meliputi upaya pre-emtif, preventif, dan upaya represif.
Upaya pre-emtif meliputi kegiatan-kegiatan sosialisasi di sekolah-sekolah dan di desa. Dengan upaya ini ditanamkan nilai-nilai hingga terinternalisasi ke dalam diri masyarakat sehingga mencegah tindakan pembuangan bayi.
Upaya preventif dilakukan dengan kegiatan patroli dan pemberian himbauan dengan kunjungan ke masyarakat. Dalam skala yang lebih luas, patroli dapat dilakukan dengan Cipta Kondisi (Cipkon) terutama ke area tempat tinggal, seperti kompleks perumahan, kontrakan rumah, tempat menginap atau kos. Pihak berwajib juga dapat bersinergi dengan masyarakat dalam kegiatan ronda malam.
Upaya represif dilakukan dengan tindakan penegakan hukum. Hukuman sanksi pidana dapat dikenakan pada pelaku tindak pidana kejahatan pembuangan bayi.
Penanggulangan tindak kejahatan pembuangan bayi, yang sama artinya dengan usaha penghilangan nyawa manusia, memerlukan sinergi dari berbagai pihak. Pemerintah dan masyarakat terutama dihimbau untuk bersinergi dengan mengutamakan fungsi dan perannya masing-masing.
Pemerintah, melalui pihak kepolisian dapat meningkatkan upaya preventif dengan memperbanyak jam patroli dan memperluas area patroli. Dibutuhkan juga kunjungan kepada anak-anak muda yang masih labil dalam mengikuti perkembangan zaman.
Upaya represif dari pemerintah dalam hal pembuangan bayi dapat dilakukan dengan lebih meningkatkan dan menegaskan dalam penjatuhan hukuman kepada pelaku kejahatan tersebut.
Dan masyarakat, yang paling utama adalah peran penting sebagai orang tua dan keluarga yang paling dekat untuk memberikan kontrol kepribadian seseorang. Termasuk dengan menghindarkan hal-hal negatif dari media sosial.***