BOGOR | TD – Kritik atas kegiatan penambangan geothermal dalam Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebenarnya banyak terjadi di berbagai daerah.
Penolakan atas proyek energi yang dinilai bakal membawa banyak keuntungan tersebut, salah satunya, terjadi di Bogor pada PLTP Gunung Salak Indonesia Power oleh Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP). Protes tersebut termuat dalam unggahan instagram Kolektifa, 12 Oktober 2023.
Protes yang dilayangkan AMGP tersebut dikarenakan gempa berskala 3,2 magnitude yang diperkirakan berasal dari aktivitas penambangan panas bumi/geothermal di PLTP Gunung Salak Indonesia Power.
Dari berbagai sumber, penulis berusaha menyusun apa saja bahaya yang harus diwaspadai dalam pengadaan dan pengoperasian PLTP, salah satunya terjadinya gempa seperti pada peristiwa tersebut.
1. Kerusakan lanskap.
Lanskap dapat rusak akibat pengeboran ke dalam tanah. Bahkan pada daerah ber-geiser, penyerapan panas melalui power plant dapat membuat geiser (mata air panas) mengering.
Tentang hilangnya geiser karena aktivitas geothermal ini sering terjadi di seluruh dunia. Misalnya 26 geiser menghilang di Nevada, 12 di Islandia, 100 geiser di Selandia Baru akibat aktivitas penambangan geothermal setempat.
2. Timbulnya cemaran dari arsenik, antimon, dan boron pada perairan sekitar penambangan/PLTP.
Dari sumur-sumur geothermal sangat mungkin muncul sejumlah mineral dan bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan makhluk hidup di sekitarnya. Misalnya munculnya sebaran arsenik, antimon, dan boron yang bersumber dari larutan hidrothermal dan masuk bercampur dengan air tanah dan air sungai.
Arsenik merupakan penyebab terjadinya kanker. Zat kimia berbahaya ini sering terdapat pada berbagai mineral, terutama sulfur dan logam. Kandungan arsenik (As) juga dapat menyebabkan munculnya penyakit kulit tertentu yang meluas di suatu wilayah.
Sedangkan antimon (Sb) merupakan elemen tertentu yang terbentuk saat terjadi perubahan komposisi mineral dalam batuan yang padat saat dipengaruhi oleh panas dan tekanan yang tinggi, misalnya dalam proses pengambilan manfaat dari geothermal.
Antimon juga disebut beracun, sama dengan arsenik.
Kemunculan boron dalam jumlah banyak dari luapan/kebocoran hidrothermal berisiko mempengaruhi kesehatan manusia di sekitarnya, terutama mengakibatkan penurunan kesuburan.
3. Pencemaran udara
Emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari proses pembangkitan listrik geothermal cukup kecil, yaitu 0,2 CO2/kilowatthour. Meskipun angka ini jauh lebih kecil dari emisi gas yang dihasilkan oleh batubara (2.095 CO2/kilowatthour), minyak (1.969), maupun gas bumi (1.321), tetapi tetap perlu diwaspadai.
Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh PLTP antara lain karbondioksida, hidrogen sulfida, metana, dan nitrogen oksida. Jenis gas-gas tersebut berpotensi mengiritasi mata, kulit, dan saluran pernapasan.
Selain itu, PLTP dapat menimbulkan debu dan bau yang cukup mengganggu. Di dalam debu akibat pengeboran bisa saja terkandung arsenik, antimon, dan silika yang dapat mempengaruhi kesehatan. Sedangkan polusi bau muncul dari gas hidrogen sulfida, meskipun bau gas ini dapat menjadi sinyal terjadinya kebocoran gas, tetapi hal tersebut tetap berbahaya.
4. Dapat mempengaruhi kestabilan lapisan tanah di sekitarnya.
Hydraulic fracturing, atau juga disebut fracking, adalah peretakan batuan yang terdapat dalam sumur geothermal untuk menambah laju aliran panas bumi yang terhalang batuan ke sumur-sumur pembangkit listrik.
Aktivitas penambangan panas bumi inilah yang menyebabkan gempa sering terjadi di sekitar area PLTP.Terjadinya gempa tentu sangat berbahaya karena dapat merusak infrastruktur dan juga mengancam keselamatan para penduduk di sekitarnya.
Amblesan atau menurunnya lapisan tanah secara tiba-tiba juga dapat terjadi, terutama bila proses fracking tidak berjalan lancar dan membuat massa air panas mengumpul di kedalaman yang kurang dalam.
Contoh dari kejadian buruk ini adalah amblesan yang cukup dalam di sebuah PLTP di Wairakei, Selandia Baru. Amblesan telah mencapai 14± 0,5 m pada 1997, dan diperkirakan akan terus bertambah dalam hingga mencapai 20±2 m pada 2050.
5. Terjadinya kebocoran atau blow out.
Keluarnya minyak, gas, ataupun fluida lainnya ke permukaan dalam pengeboran sumur geothermal yang tidak bisa dikendalikan disebut sebagai blow out.
Salah satu contoh dari peristiwa blow out adalah semburan uap yang terjadi saat pengeboran sumur IJN 6-1 pada kedalaman 630 meter yang masih dinilai dangkal. Pada PLTP Ijen Jawa Timur yang dinaungi PT Medco Cahaya Geothermal tersebut sebenarnya telah memasang Blow Out Preventer, tetapi hal tersebut gagal menghalangi uap membanjiri permukaan tanah.
Blow out inilah juga yang terjadi pada semburan lumpur panas di PT Lapindo Brantas Sidoarjo Jawa Timur pada 29 Mei 2006. Meskipun bukan penambangan geothermal, melainkan minyak dan gas alam.
Sedangkan di Alasehir, Turki, blow out terjadi pada tahun 2012 hingga 2014 di tiga lokasi yang terletak di sepanjang zona sesar. Cairan panas bumi yang menyembur keluar bahkan membawa bahan berbahaya, seperti arsenik dan boron dalam jumlah tinggi.
Itulah 5 bahaya yang harus diwaspadai dari pemanfaatan geothermal dalam pembangkit tenaga listrik. (*)