OPINI | TD – Welfare state, sejak kelahirannya, membawa janji besar: negara hadir untuk menjamin hak-hak dasar warganya. Yaitu hak mendapatkan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan perlindungan sosial. Gagasan ini tumbuh dari luka sejarah, dari Perang Dunia hingga krisis sosial akibat pasar yang terlalu bebas. Namun hari ini, kita menyaksikan sesuatu yang ironis: di tengah kemajuan ekonomi global, negara justru mundur dari tanggung jawab sosialnya. Globalisasi dan kapitalisme modern mengubah orientasi negara dari pelindung hak menjadi manajer efisiensi.
Pertanyaannya, mungkinkah prinsip keadilan sosial dan efisiensi pasar hidup berdampingan? Atau kita justru tengah menyaksikan fase akhir dari negara kesejahteraan yang pernah dijanjikan itu?
Tekanan ekonomi global telah menciptakan dilema yang tak mudah bagi banyak negara, terutama di dunia berkembang. Di satu sisi, ada tuntutan untuk menjaga stabilitas fiskal, memperbaiki iklim investasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, ada hak-hak dasar warga yang menuntut perlindungan. Pemerintah dipaksa memilih antara subsidi sosial dan pemotongan anggaran; antara program jaminan sosial atau stimulus untuk pasar. Di sini, logika pasar perlahan menggusur nilai solidaritas sosial.
Konsep efisiensi yang diusung oleh neoliberalisme bukan sekadar tentang penghematan, tapi tentang redefinisi peran negara. Negara tidak lagi menjadi pengayom, melainkan menjadi operator ekonomi. Di bawah tekanan lembaga keuangan internasional dan investasi global, banyak negara berkembang termasuk Indonesia terpaksa memangkas program sosial dan menyerahkan tanggung jawab pelayanan dasar ke sektor swasta. Pendidikan menjadi mahal, kesehatan menjadi komoditas, dan jaminan sosial semakin selektif.
Kita sering diberi narasi bahwa pertumbuhan ekonomi akan memperkuat kesejahteraan. Namun data berbicara lain. Ketimpangan justru meningkat di banyak negara yang menerapkan logika pasar ekstrem. Indonesia, misalnya, mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5% dalam satu dekade terakhir, tapi rasio ketimpangan (Gini ratio) tetap tinggi. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tidak otomatis berarti distribusi.
Sementara elite ekonomi menikmati hasil globalisasi, kelas pekerja dan masyarakat rentan terperangkap dalam lingkaran kemiskinan baru kemiskinan yang dibungkus oleh angka makroekonomi yang mengilap. Banyak orang bekerja, tapi tak mampu hidup layak. Banyak anak bersekolah, tapi tak punya jaminan pekerjaan atau kesehatan di masa depan. Inilah wajah paradoksal negara sejahtera dalam era kapitalisme global.
Di tengah derasnya gelombang pasar bebas, muncul suara yang meragukan relevansi welfare state. Dianggap tidak efisien, membebani anggaran, bahkan menciptakan ketergantungan sosial. Namun tuduhan ini terlalu simplistik. Negara kesejahteraan bukanlah sistem yang anti-pasar, tapi sistem yang berusaha mengoreksi ekses pasar. Tanpa kehadiran negara, pasar akan membentuk pemenang dan pecundang secara ekstrem, mengorbankan solidaritas sosial yang menjadi fondasi negara modern.
Di Eropa Utara, beberapa negara justru berhasil membuktikan bahwa sistem kesejahteraan yang kuat bisa berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan inovasi pasar. Mereka melindungi warganya dengan pendidikan gratis, jaminan sosial universal, dan layanan kesehatan publik tanpa kehilangan daya saing global. Ini menunjukkan bahwa kunci bukan pada penghapusan welfare state, melainkan pada desain institusional dan keberpihakan politik.
Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya tidak bisa sekadar meniru model welfare state dari Barat. Kita butuh pendekatan yang kontekstual yang mempertimbangkan kapasitas fiskal, struktur sosial, dan budaya gotong royong yang khas. Namun yang paling penting adalah keberanian politik untuk menempatkan manusia di atas angka-angka ekonomi.
Welfare state yang relevan hari ini bukan sekadar soal jaminan sosial, tetapi juga soal demokratisasi pelayanan publik, keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan, serta keberpihakan kepada kelompok paling lemah dalam struktur sosial. Negara tidak boleh menjadi manajer yang dingin, tetapi harus hadir sebagai penjaga keadilan sosial dalam dunia yang semakin kompetitif.
Kapitalisme global telah menguji keberanian negara untuk bertahan sebagai institusi yang melindungi. Dalam pusaran efisiensi dan pertumbuhan, negara ditantang untuk tidak kehilangan jiwanya. Welfare state bukanlah beban, tetapi cermin dari komitmen negara terhadap warganya. Kita butuh negara yang bukan hanya efisien, tetapi juga adil. Karena tanpa keadilan sosial, efisiensi hanyalah ilusi. Dan tanpa perlindungan negara, kesejahteraan hanyalah milik segelintir orang.
Penulis: Meisya Ayu Azhara, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Editor: Patricia