Ilustrasi: Gambar dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan oleh penulisGAYA HIDUP | TD — Di berbagai sekolah menengah atas, terutama di wilayah Kota Tangerang, perubahan gaya berpakaian pelajar semakin terasa. Sebagai alumni salah satu SMA di daerah tersebut, saya melihat langsung bagaimana fashion di lingkungan sekolah kini tak sekadar soal seragam, tetapi juga soal gaya dan identitas diri.
Jika dulu pelajar identik dengan backpack besar dan seragam longgar, kini banyak yang tampil dengan totebag, seragam press body, dan paduan cardigan, sweater, atau hoodie. Sekilas terlihat sebagai perubahan kecil, tetapi sebenarnya ini mencerminkan pengaruh besar media sosial dan budaya digital terhadap cara berpakaian pelajar Generasi Z.
Media sosial kini menjadi “runway” utama fashion pelajar. Platform seperti TikTok, Instagram, dan Pinterest penuh dengan konten Outfit of The Day (OOTD), Korean look, hingga aesthetic style yang cepat viral.
Banyak pelajar mengikuti gaya-gaya tersebut agar terlihat keren, modern, dan tidak “ketinggalan tren”. Bahkan, ketika satu-dua siswa mulai tampil dengan gaya tertentu, teman-teman lain pun ikut menirunya—sebuah pola khas dalam budaya FOMO (Fear of Missing Out).
Fenomena FOMO ini mencerminkan keinginan kuat Gen Z untuk diakui secara sosial. Menurut penelitian Rahmawati dkk. (2023) dari Universitas Prasetiya Mulya, media sosial berperan penting dalam membentuk gaya hidup Gen Z Indonesia. Visualisasi fashion di dunia digital membuat remaja terdorong untuk meniru gaya populer agar diterima di lingkungannya. Dengan kata lain, media sosial tak hanya memengaruhi selera berpakaian, tetapi juga cara mereka membangun citra diri.
Perubahan paling mencolok adalah pergeseran dari backpack ke totebag. Awalnya, totebag hanya dianggap lucu dan praktis, namun kini ia menjadi simbol estetika kekinian.
Jika dibandingkan secara fungsi, backpack lebih unggul karena mampu menampung lebih banyak barang dan menjaga keseimbangan bahu. Namun, banyak pelajar tetap memilih totebag karena tampilannya lebih clean, minimalis, dan modern—cocok untuk mencerminkan gaya hidup Gen Z yang simpel namun tetap stylish.
Menurut penelitian dari Universitas Gunadarma (2023), Gen Z lebih tertarik pada produk fashion yang mampu mewakili nilai dan identitas diri, bukan semata-mata karena fungsinya. Dengan kata lain, totebag bukan sekadar tas, melainkan pernyataan gaya hidup.
Selain totebag, cardigan dan seragam press body kini menjadi elemen penting dalam fashion pelajar. Cardigan memberi kesan lembut dan fashionable, sementara seragam press body dianggap rapi dan modern. Gaya ini mencerminkan upaya pelajar untuk tampil percaya diri dan mengekspresikan kepribadian mereka.
Namun, tren ini juga membawa sisi lain: tekanan sosial. Tidak sedikit siswa merasa perlu menyesuaikan gaya mereka agar tidak dianggap “ketinggalan zaman”.
Penelitian Hidayat dkk. (2022) menunjukkan bahwa paparan tren fashion di TikTok mendorong perilaku konsumtif Gen Z, yang rela membeli produk baru demi mengikuti gaya yang sedang viral. Artinya, fashion di kalangan pelajar kini bukan hanya tentang kenyamanan atau estetika, tetapi juga tentang pencitraan diri dan penerimaan sosial.
Mengikuti tren bukanlah hal yang salah—selama dilakukan dengan kesadaran dan keseimbangan. Gaya berpakaian memang bisa meningkatkan rasa percaya diri, tetapi penting diingat bahwa tidak semua tren perlu diikuti. Fashion seharusnya menjadi cerminan kepribadian, bukan sekadar alat untuk “fit in”.
Fenomena totebag, cardigan, dan seragam press body di sekolah-sekolah Tangerang menunjukkan bahwa fashion kini menjadi bahasa sosial baru bagi pelajar Gen Z.
Di tengah derasnya arus digital dan budaya viral, berpakaian tidak lagi sekadar soal fungsi, tetapi juga tentang bagaimana seseorang ingin dilihat dan dimaknai.
Tren boleh datang dan pergi, tetapi gaya yang paling berharga adalah gaya yang mencerminkan siapa diri kita sebenarnya.
Penulis: Sherly Armelia
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)