OPINI| TD — Tradisi sunat perempuan (female genital mutilation/FGM), yang masih berlangsung di Banten, Indonesia, bukanlah sekadar praktik budaya, melainkan pelanggaran hak asasi manusia yang berdampak serius terhadap gender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi perempuan.
Argumen yang menyatakan praktik ini sebagai tradisi yang tak tergantikan harus dibantah dengan bukti-bukti empiris yang menunjukkan dampak negatifnya yang tak terbantahkan.
Klaim bahwa sunat perempuan merupakan bagian integral dari konstruksi sosial yang mengatur peran gender, sebenarnya adalah justifikasi atas sistem patriarki yang represif. Praktik ini bukan sekadar tradisi, melainkan mekanisme kontrol yang memperkuat dominasi laki-laki.
Dengan membatasi seksualitas perempuan dan mengendalikan tubuh mereka sejak usia dini, sistem ini memarjinalkan perempuan dan membatasi akses mereka pada pendidikan, pekerjaan, dan pengambilan keputusan.
Bukannya menjaga kehormatan keluarga, sunat perempuan justru menunjukkan pemahaman yang dangkal dan merendahkan tentang martabat perempuan, yang nilainya diukur berdasarkan kesucian seksual yang dipaksakan.
Argumen yang mengaitkan sunat perempuan dengan pengendalian seksualitas perempuan adalah menyesatkan dan tidak berdasar secara ilmiah.
Bukti medis menunjukkan bahwa sunat perempuan tidak memiliki efek pencegahan terhadap perilaku seksual tidak pantas. Sebaliknya, praktik ini justru menimbulkan beragam gangguan seksual, termasuk disfungsi seksual, rasa sakit kronis saat berhubungan seksual, dan penurunan kepuasan seksual.
Dengan demikian, sunat perempuan bukannya melindungi, melainkan menindas seksualitas perempuan, merampas hak mereka atas kenikmatan seksual, dan melanggar hak-hak reproduksi mereka yang fundamental.
Dampak sunat perempuan terhadap kesehatan reproduksi sangat signifikan dan berbahaya. Bukan hanya rasa sakit dan trauma fisik yang tak terhindarkan, tetapi juga risiko tinggi infeksi, perdarahan hebat, komplikasi selama persalinan, bahkan kematian.
Praktik yang dilakukan dengan alat-alat yang tidak steril dan tanpa pengawasan medis yang memadai, meningkatkan risiko infeksi serius, sepsis, dan komplikasi jangka panjang.
Lebih jauh lagi, dampak psikologis seperti trauma, depresi, dan kecemasan juga merupakan bagian dari beban kesehatan yang ditanggung oleh korban sunat perempuan. Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut jauh dari aman dan sehat, seperti yang sering diklaim.
Meskipun ada perdebatan hukum dan regulasi yang melarang sunat perempuan, penerapannya masih lemah. Upaya pemerintah untuk mengkampanyekan penghapusannya perlu diperkuat dengan penegakan hukum yang tegas dan konsisten.
Lebih penting lagi, kampanye kesadaran harus lebih intensif dan komprehensif, tidak hanya melibatkan tokoh agama dan masyarakat, tetapi juga melibatkan edukasi seksualitas yang komprehensif sejak usia dini.
Perubahan persepsi masyarakat membutuhkan pendekatan holistik yang menggabungkan edukasi, advokasi, dan dukungan bagi korban sunat perempuan.
Tradisi sunat perempuan di Banten bukanlah tradisi yang patut dipertahankan. Ini merupakan praktik yang kejam dan melanggar hak asasi manusia perempuan. Dampaknya terhadap gender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi sangat serius dan tidak dapat diabaikan.
Untuk mengakhiri praktik ini, diperlukan upaya kolektif yang melibatkan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, tokoh agama, dan seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran, memperkuat penegakan hukum, dan memberikan dukungan yang komprehensif bagi perempuan yang menjadi korban.
Perempuan berhak atas tubuh dan seksualitasnya sendiri, bebas dari kekerasan dan praktik-praktik yang merugikan.
Penulis: Putri Sri Desti Anggraini, Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)