OPINI | TD — Di tengah ketimpangan gizi, kasus stunting, dan beban ekonomi yang masih menghimpit banyak keluarga Indonesia, Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) hadir sebagai salah satu terobosan kebijakan yang patut diapresiasi sekaligus diperkuat. Program ini bukan sekadar distribusi makanan, melainkan sebuah investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Dengan akses terhadap makanan sehat dan bergizi, anak-anak diharapkan tumbuh lebih kuat, cerdas, dan sehat, sehingga pada akhirnya mampu mendorong terciptanya kesejahteraan sosial yang lebih merata. Namun, idealisme program ini kini menghadapi ujian serius. Kepercayaan publik terhadap MBG mulai goyah akibat serangkaian kasus keracunan massal di berbagai daerah, yang diduga berasal dari makanan yang disalurkan melalui program tersebut.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin sebuah program dengan niat mulia justru berbalik menjadi ancaman kesehatan, apabila aspek keamanan pangan dan pengawasan tidak dijalankan secara ketat?
Beberapa kasus keracunan massal yang mencuat dalam beberapa bulan terakhir menjadi alarm keras bagi pemerintah:
Rangkaian kasus ini memperlihatkan bahwa persoalan tidak hanya terjadi di satu daerah atau satu penyedia, melainkan sudah menjadi masalah sistemik. Mulai dari persiapan bahan, proses pengolahan, kebersihan dapur, hingga distribusi makanan ke sekolah-sekolah, semua berpotensi menjadi titik rawan.
Menyediakan makanan bergizi bagi jutaan anak sekolah bukanlah perkara sederhana. Ada rantai panjang yang harus dikelola dengan disiplin:
Jika salah satu mata rantai ini bermasalah, risiko yang muncul bisa fatal. Sayangnya, dari berbagai kasus terlihat bahwa standar mutu dan kebersihan belum dijalankan secara konsisten.
Banyak dapur penyedia MBG masih jauh dari standar higienis, distribusi makanan sering dilakukan tanpa memperhatikan keamanan pangan—misalnya waktu tempuh panjang tanpa fasilitas penyimpanan dingin—sehingga membuka peluang berkembangnya bakteri berbahaya.
Selain itu, sistem pengawasan yang seharusnya berlapis tampaknya belum berjalan efektif. Seringkali pengawasan hanya administratif, tanpa inspeksi lapangan dan uji laboratorium yang rutin. Padahal, dengan anggaran negara yang besar, seharusnya ada standar ketat dan mekanisme evaluasi jelas untuk menjamin keamanan konsumsi.
Kasus keracunan massal ini harus menjadi titik balik. Pemerintah tidak boleh memandangnya sebagai insiden biasa yang mudah dilupakan begitu saja. Sebaliknya, inilah momentum penting untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan reformasi besar-besaran dalam pelaksanaan MBG.
Langkah-langkah penting yang perlu ditempuh antara lain:
Program MBG lahir dari niat baik: mengatasi kemiskinan, ketimpangan gizi, dan stunting—masalah kronis yang membebani bangsa. Namun, niat baik saja tidak cukup, apalagi jika yang menjadi sasaran utama adalah anak-anak, kelompok paling rentan terhadap masalah kesehatan.
Kasus-kasus keracunan yang belakangan viral harus menjadi pelajaran berharga. Pemerintah perlu bergerak cepat, membenahi tata kelola di semua lini, dan memastikan tidak ada lagi anak sekolah yang menjadi korban.
Dengan tata kelola profesional, pengawasan ketat, dan komitmen pada transparansi serta kualitas, MBG tetap bisa menjadi program unggulan yang membawa dampak besar bagi masa depan generasi bangsa.
Keberhasilan program ini akan menjadi bukti nyata bahwa negara hadir untuk melindungi warganya sejak dini, memastikan mereka tumbuh sehat, cerdas, dan siap membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.
Penulis: Sheena Agistin Isnandar, mahasiswa semester satu, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)