OPINI | TD — Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional sebagai momen refleksi atas perjuangan kelas pekerja dalam memperjuangkan hak-haknya. Namun, seiring berkembangnya zaman, makna dan tantangan Hari Buruh pun turut berubah. Di satu sisi, peringatan ini tetap relevan sebagai pengingat akan pentingnya keadilan dan kesejahteraan bagi buruh. Di sisi lain, muncul berbagai tantangan baru yang menuntut perhatian lebih luas dari pemerintah, pengusaha, dan masyarakat global.
Hari Buruh Internasional bermula dari perjuangan kaum buruh di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1886, terjadi demonstrasi besar-besaran di Chicago yang dikenal sebagai Haymarket Affair. Para buruh menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari, sebuah tuntutan yang pada masa itu dianggap radikal.
Dilansir dari History.com, demonstrasi tersebut awalnya berlangsung damai, namun berubah menjadi kerusuhan setelah ledakan bom di tengah kerumunan. Peristiwa ini menandai titik balik penting dalam gerakan buruh internasional dan akhirnya membuat tanggal 1 Mei diakui sebagai simbol perjuangan buruh.
Meskipun telah banyak capaian yang diraih kaum buruh sejak masa revolusi industri, namun tantangan baru terus bermunculan di era modern. Globalisasi, digitalisasi, dan perubahan pola kerja telah menciptakan bentuk-bentuk ketimpangan baru yang tak kalah pelik.
Perkembangan teknologi telah mendorong lahirnya sistem kerja jarak jauh dan fleksibel. Banyak perusahaan menerapkan model freelance, gig economy, atau kontrak sementara yang dianggap lebih efisien dan hemat biaya.
Namun, menurut laporan dari International Labour Organization (ILO) yang dilansir dari laman resmi ilo.org, pekerja dalam ekonomi digital ini rentan terhadap ketidakpastian pendapatan, kurangnya jaminan sosial, dan perlindungan hukum yang minim. Ini menjadi ironi baru, di mana fleksibilitas justru menciptakan ketidakstabilan.
Masalah upah layak masih menjadi tantangan utama, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Menurut Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), banyak buruh yang masih menerima upah di bawah standar hidup layak, terutama di sektor informal dan padat karya.
Dilansir dari Kompas.com, Presiden KSPI Said Iqbal menyebut bahwa kenaikan upah tahunan yang tidak signifikan menyebabkan daya beli buruh stagnan bahkan menurun, terlebih dengan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok. Ini menimbulkan ketimpangan ekonomi yang bisa berujung pada instabilitas sosial.
Undang-undang yang seharusnya melindungi hak-hak buruh justru kadang menjadi sumber ketidakadilan. Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan melalui UU Cipta Kerja di Indonesia, misalnya, menuai kritik karena dianggap merugikan buruh.
Menurut pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Payaman Simanjuntak, dalam wawancara yang dilansir dari Tempo.co, beberapa pasal dalam omnibus law berpotensi memperburuk kondisi kerja buruh, terutama terkait PHK, outsourcing, dan jam kerja.
Di tengah perubahan zaman, Hari Buruh tetap memiliki relevansi yang tinggi. Hari Buruh bukan hanya sekadar libur nasional atau parade massa, melainkan momentum strategis untuk mengevaluasi kebijakan ketenagakerjaan dan mendorong reformasi yang lebih adil.
Hari Buruh seharusnya menjadi wadah bagi dialog antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Di banyak negara maju, seperti Jerman dan Swedia, model tripartite dialogue telah terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak.
Menurut laporan World Economic Forum, negara-negara dengan dialog sosial yang kuat cenderung memiliki produktivitas tinggi, upah yang adil, dan tingkat konflik industri yang rendah. Indonesia dan negara lain bisa meniru pola serupa untuk menciptakan harmoni dalam hubungan industrial.
Era Revolusi Industri 4.0 membawa tantangan sekaligus peluang. Buruh dituntut untuk terus meningkatkan keterampilan agar tidak tergilas oleh otomatisasi. Pemerintah juga harus berperan dalam menyediakan pelatihan dan pendidikan vokasi yang relevan.
Dilansir dari Katadata.co.id, Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziyah, menyatakan bahwa program reskilling dan upskilling menjadi prioritas agar tenaga kerja Indonesia mampu bersaing dalam ekonomi digital global.
Hari Buruh juga menjadi pengingat pentingnya solidaritas antarpekerja di seluruh dunia. Perjuangan untuk kondisi kerja yang adil bukanlah isu lokal, melainkan masalah global yang menyangkut hak asasi manusia.
Menurut International Trade Union Confederation (ITUC), perburuan profit oleh korporasi multinasional sering kali membuat buruh di negara-negara berkembang dikorbankan. Oleh karena itu, gerakan buruh internasional harus bersatu dalam mendorong regulasi yang adil dan transparan, termasuk tanggung jawab sosial perusahaan.
Hari Buruh Internasional adalah pengingat akan sejarah panjang perjuangan buruh melawan penindasan dan ketidakadilan. Meskipun tantangan hari ini berbeda dari masa lalu, esensi perjuangannya tetap sama: mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan martabat bagi seluruh pekerja.
Menurut pandangan akademisi dan aktivis buruh, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Anwar Sastroatmodjo dalam seminar ketenagakerjaan di UGM, Hari Buruh bukan hanya milik buruh, melainkan seluruh bangsa yang mendambakan tatanan kerja yang manusiawi.
Dengan dialog yang inklusif, kebijakan yang berpihak, serta solidaritas yang kuat, Hari Buruh dapat menjadi momentum untuk membangun masa depan kerja yang lebih adil dan berkelanjutan.
Penulis: Muhamad Hijar Ardiansah, Mahasiswa KPI UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. (*)