TANGERANG | TD – Masyarakat Baduy terkenal karena sikapnya yang khas dalam menyikapi segala sesuatu yang baru dan berasal dari luar wilayahnya. Sikap selalu menolak tersebut dilakukan Suku Baduy dengan tujuan menjaga “kesucian” wilayahnya.
Sikap tersebut, dalam sudut pandang lain, merupakan sikap untuk mempertahankan kelestarian lingkungan. Lingkungan yang dapat terjaga dengan baik pada akhirnya akan memelihara manusia Baduy itu sendiri.
Dalam sistem masyarakat Baduy, secara geografis mereka membagi wilayahnya dalam 3 kategori. Yakni masyarakat Suku Baduy Dalam, Suku Baduy Luar, dan masyarakat luar Baduy yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Suku Baduy.
Masyarakat Suku Baduy Dalam adalah masyarakat inti Baduy yang bertugas memelihara segala sesuatu sesuai dengan hukum mandala atau wilayah kekuasaan lembaga keagamaan.
Hukum mandala adalah norma leluhur, atau disebut kelestarian lingkungan. Pikukuh karuhun dapat terpelihara dengan adanya buyut atau larangan dan tabu.
Prinsip utama dari buyut adalah konsep kesediaan menerima segala sesuatu apa adanya, tanpa perlu tindakan perubahan apapun. Prinsip utama buyut tersebut disebutkan dalam ungkapan “lojor teu menang dipotong, pondok teu menang disambung“. Artinya “panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung.
Buyut tabu dalam masyarakat Baduy dibagi menjadi 3 jenis:
1. Buyut untuk melindungi kemurnian sukma
2. Buyut untuk melindungi kemurnian mandala
3. Buyut untuk melindungi kemurnian tradisi
Konsistensi Suku Baduy dalam mengusahakan perlindungan kemurnian itulah yang membuat mereka menolak segala sesuatu yang datang dari luar. Suku Baduy juga menganggap bila taneuh titipan yang mereka jaga sebagai inti dari jagat raya itu rusak, maka akan rusak dan hancur pulalah seluruh kehidupan di dunia.***