OPINI | TD – SPBU Ciceri di Kota Serang, Banten, telah kembali beroperasi setelah ditutup selama beberapa bulan akibat kasus dugaan pengoplosan bahan bakar Pertamax. Kasus ini menimbulkan pertanyaan di kalangan publik mengenai komitmen pemerintah dalam penegakan keadilan dan perlindungan konsumen. Dalam artikel ini, kita akan menganalisis kronologi penutupan, pembukaan kembali, serta implikasi dari tindakan pemerintah dalam konteks kepercayaan publik dan teori politik.
Penutupan SPBU Ciceri dimulai pada tanggal 24 Maret 2025, setelah laporan dari warga mengenai kejanggalan pada warna Pertamax yang dijual. Hasil uji laboratorium dari Pertamina dan BPH Migas menunjukkan bahwa bahan bakar tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi, dengan titik didih yang melebihi standar nasional. Dua tersangka, termasuk pengawas operasional, ditetapkan oleh kepolisian setelah terbukti mencampurkan 16.000 liter BBM ilegal dengan 8.000 liter Pertamax resmi. Sekitar 3.370 liter Pertamax oplosan telah terjual kepada konsumen, menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan dan kepercayaan publik. (Sumber: Kompas, 1 Mei 2025 dan Radar Banten, 9 Mei 2025)
Setelah menjalani sanksi administratif dan proses penyidikan, SPBU Ciceri dibuka kembali pada awal Juni 2025. Pengelolaan kini berada di bawah pengawasan langsung Pertamina Pusat, sebagai langkah untuk memulihkan kepercayaan publik dan menjamin standar operasional yang lebih ketat. Seorang pejabat Pertamina menyatakan bahwa pengawasan internal telah diperketat, dan manajemen sebelumnya telah dicopot. (Sumber: BantenNews, 16 Juni 2025)
Meskipun SPBU telah kembali beroperasi, banyak warga yang masih ragu untuk membeli bahan bakar di sana. Beberapa mengungkapkan trauma akibat pengalaman sebelumnya, sementara yang lain berharap agar pengawasan dari pemerintah dan Pertamina lebih tegas. Hal ini menunjukkan bahwa pembukaan kembali SPBU tidak serta-merta menghapus kekhawatiran publik, melainkan menuntut adanya perubahan sistemik yang lebih mendalam. (Sumber: SerangNews, Juni 2025)
Dalam konteks teori politik, kasus ini mencerminkan tantangan dalam penerapan prinsip Rule of Law. Hukum seharusnya berlaku setara bagi semua pihak, namun sering kali terdapat kekhawatiran bahwa elite usaha atau aktor bermodal besar mendapatkan perlakuan yang lebih lunak. Penegakan hukum di Indonesia, seperti yang dikaji dalam jurnal Political Configuration of Law in Law Enforcement in Indonesia (Khoirunnisa & Jubaidi, 2023), sering kali dipengaruhi oleh kepentingan elite politik dan ekonomi.
Pengalihan pengelolaan kepada Pertamina Pusat dapat dipandang sebagai bentuk “Negara Paternalistik”, di mana negara bertindak sebagai pelindung yang langsung mengambil alih, alih-alih memperkuat regulasi jangka panjang. Meskipun langkah ini dapat memulihkan fungsi layanan dalam jangka pendek, penting bagi negara untuk memastikan adanya transparansi, audit publik, dan sanksi tegas terhadap pelanggaran di masa depan.
Untuk mencegah pengoplosan BBM di masa depan, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif:
Transparansi Total dalam Rantai Distribusi
Penegakan Hukum Tanpa Kompromi
Peran Aktif Masyarakat dalam Pengawasan
Kasus SPBU Ciceri menjadi pengingat bahwa kepercayaan publik terhadap negara tidak hanya dibangun melalui tindakan sesaat, tetapi juga melalui konsistensi, transparansi, dan keberanian untuk menindak pelanggaran tanpa pandang bulu. Jika negara ingin mempertahankan kepercayaan rakyat, pengawasan terhadap BUMN dan sektor strategis seperti energi harus dilakukan dengan lebih tegas, terbuka, dan adil. Kasus ini bukanlah akhir, melainkan awal dari tantangan tata kelola energi yang lebih bersih dan
bermoral.
Penulis: Fatimah Azzahra, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Editor: Mohamad Romli (*)