OPINI | TD — Menjelang perayaan Natal, pertanyaan perihal kebolehan umat Muslim mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristiani kembali menjadi perbincangan hangat. Perbedaan pendapat yang muncul di kalangan ulama dan masyarakat muslim menuntut pemahaman yang mendalam dan bijaksana.
Artikel ini akan menelaah berbagai pandangan, argumen, dan konteks yang relevan untuk menjawab pertanyaan tersebut secara komprehensif.
Berbagai Pendapat Ulama: Ijtihad dan Perbedaan Interpretasi
Isu ini bukan sekadar tentang boleh atau tidak boleh, tetapi menyangkut pemahaman dan aplikasi ajaran Islam dalam interaksi sosial antar umat beragama.
Perbedaan pendapat yang ada mencerminkan dinamika ijtihad (penggunaan penalaran untuk menggali hukum Islam) dan taqlid (mengikuti pendapat ulama terdahulu).
Beberapa ulama, seperti Buya Husein Ja’far Al-Hadar, memperbolehkan ucapan selamat Natal. Dalam video di kanal YouTube SALAAM Indonesia, beliau mengemukakan beberapa argumen. Beliau merujuk pada ayat Al-Qur’an surat Maryam ayat 33.
وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا
was-salâmu ‘alayya yauma wulittu wa yauma amûtu wa yauma ub’atsu ḫayyâ
Artinya: “Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa as) pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan hari aku dibangkitkan hidup (kembali).”
Buya Husein menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kesucian hari kelahiran Nabi Isa AS. Beliau juga mencontohkan tindakan Nabi Muhammad SAW yang menghormati jenazah dari kalangan Yahudi, menunjukkan pentingnya penghormatan antar manusia terlepas dari perbedaan keyakinan. Beliau menekankan perbedaan antara aqidah (keimanan) dan mu’amalah (interaksi sosial).
Ucapan selamat Natal, menurut beliau, termasuk dalam ranah mu’amalah, selama tidak menyiratkan pengakuan terhadap ajaran Kristen yang bertentangan dengan Islam.
Pendapat serupa diutarakan oleh tokoh-tokoh agama terkemuka lainnya seperti Ustaz Quraish Shihab dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang cenderung memperbolehkan ucapan selamat Natal sebagai bentuk toleransi dan harmoni antarumat beragama.
Pandangan yang Menolak Ucapan Selamat Natal: Menjaga Ketauhidan
Di sisi lain, ada pandangan yang menolak ucapan selamat Natal berdasarkan interpretasi ayat Al-Qur’an:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Lakum dīnukum wa liya dīnī
Artinya: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirūn [109]:6)
Ayat ini diinterpretasikan sebagai pembatas yang tegas antara agama Islam dan agama lainnya.
Pendapat ini menekankan agar umat Muslim tidak terlibat dalam perayaan atau ritual agama lain, untuk menjaga kemurnian akidah dan menghindari praktik yang dianggap bisa menjerumuskan pada syirik atau perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Mereka khawatir ucapan selamat Natal bisa disalahartikan sebagai pengakuan terhadap ajaran Kristen yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Perbedaan pendapat ini tidak perlu menjadi sumber perpecahan. Justru, perbedaan ini menunjukkan kekayaan dan kedalaman pemahaman Islam dalam menghadapi realitas sosial yang plural. Kedua pandangan tersebut berangkat dari niat yang sama, yaitu untuk menjaga kemurnian akidah dan sekaligus membangun hubungan harmonis dengan umat beragama lain.
Tantangannya adalah menemukan titik temu antara upaya menjaga ketauhidan dan menunjukkan sikap toleransi. Ucapan selamat Natal, jika dilandasi niat yang tulus sebagai bentuk penghormatan kemanusiaan dan bukan sebagai pengakuan terhadap ajaran Kristen yang bertentangan dengan Islam, maka hal tersebut bisa dimaklumi. Namun, tetap penting untuk menjaga kehati-hatian dan menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan kesalahpahaman atau interpretasi yang menyimpang.
Pertanyaan tentang kebolehan mengucapkan “Selamat Natal” bagi umat Muslim tidak memiliki jawaban tunggal yang pasti. Perbedaan pendapat di kalangan ulama menunjukkan kompleksitas isu ini. Yang terpenting adalah memahami berbagai argumen dan konteks yang relevan, serta bersikap bijaksana dan berimbang dalam menghadapi perbedaan.
Toleransi dan penghormatan antar umat beragama harus diutamakan, tetapi hal tersebut tidak boleh mengorbankan keteguhan dalam memegang teguh prinsip-prinsip ajaran Islam. Sikap yang paling bijak adalah menghormati perbedaan pendapat, menjaga akhlak mulia, dan senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang rahmatan lil-‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Penulis: Nina Febriyanti, Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasannuddin Banten. (*)