TANGERANG | TD – Sejak “G20 Bali Leaders Declaration” disahkan pada November tahun lalu, kesadaran seluruh dunia akan pentingnya usaha mengurangi emisi karbon tumbuh semakin cepat. G20 Bali Leaders Declaration berisi kebijakan internasional mengenai perubahan iklim.
Berdasar kebijakan tentang perubahan iklim tersebut, pemerintah pun menggulirkan berbagai program untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050. Misalnya rencana untuk membangun ekosistem baterai listrik dan mobil listrik. Pemakaian listrik dalam berkendara bertujuan mengurangi emisi karbon dari pembakaran bensin.
Pemerintah juga sedang mengembangkan baterai panel surya yang lebih tahan lama. Selain itu kelapa sawit dikembangkan menjadi produk biodiesel pengganti bensin. Dan masih banyak lagi usaha energi baru terbarukan (EBT) yang dilakukan pemerintah.
Kesadaran untuk memerangi perubahan iklim sebenarnya telah dimulai sejak ratusan tahun lalu. Tepatnya setelah era revolusi industri dimulai di Inggris.
Tepatnya pada tahun 1824, Joseph Fourier, seorang fisikawan kebangsaan Prancis, menggambarkan apa yang ia katakan sebagai ‘efek rumah kaca’. Yaitu bagaimana suhu di dalam atmosfir meningkat karena panas dari cahaya matahari tertahan oleh hambatan di dalam atmosfer sukar terlepas ke alam bebas kecuali ia bisa berubah menjadi panas cahaya.
Saat itu ia mengatakan, “Suhu bisa meningkat dalam interposisi atmosfir karena panas dari cahaya menghadapi hambatan lebih sedikit waktu memasuki udara dibanding saat memasuki udara ketika berubah menjadi panas cahaya.”
John Tyndall, seorang fisikawan asal Inggris, pada tahun 1824, memperagakan bagaimana uap air dan gas-gas tertentu dapat menciptakan efek rumah kaca. Penelitian John Tyndall ini kemudian diabadikan dalam salah satu pusat penelitian iklim bernama Tyndall Centre.
Kesadaran akan perubahan iklim tumbuh di Swedia, saat Svante Arrhenius mengatakan bahwa pembakaran batu bara skala industri meningkatkan efek rumah kaca. Svante adalah ahli kimia Swedia yang hidup pada akhir abad 18.
Tidak lama dari penemuan Svante, Knut Angstrom mengungkapkan bahwa sekecil apapun konsentrasi CO2 di atmosfir, tumpukan emisi tersebut akan menyerap spektrum infra merah dari cahaya matahari dan menyebabkan panas meningkat. Inilah yang kemudian disebut jejak karbon.
Pada tahun 1927, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa penggunaan minyak bumi telah menghasilkan tumpukan emisi karbon sebesar 1 milyar ton per tahun.
Efek Callendar ditemukan pada tahun 1938. Efek Calllendar menunjukkan konsentrasi CO2 meningkat searah dengan peningkatan suhu. Hal ini menyebabkan Guy Callendar, penemunya, menyimpulkan konsentrasi CO2 inilah penyebab kenaikan suhu.
Guy Callendar menemukan teori tersebut berdasarkan catatan dari 147 stasiun cuaca diseluruh dunia. Guy merupakan insinyur berkebangsaan Inggris. Sayangnya, saat itu para ahli meteorologi menolak teori Efek Callendar.
Demikianlah awal dari sejarah perkembangan kesadaran perubahan iklim dari tahun 1824 hingga 1938. Sebuah kesadaran yang tumbuh perlahan, lebih dari 1 abad.
Sedangkan emisi karbon dapat tumbuh secepat kilat. Pada tahun 2021 saja, dikutip dari databoks.katadata.co.id, terdapat pertambahan 36,3 gigaton CO2 di seluruh dunia. Hal ini merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah. ***