TANGERANG | TD – Pemerintah Indonesia telah menetapkan tanggal Perayaan Imlek pada 22 Januari 2023 yang diikuti oleh cuti bersama sehari setelahnya.
Perayaan Imlek ini dahulu di Indonesia tidak diperkenankan, terkait sentimen ras selama Orde Baru, yakni selama 1968 hingga 1999. Bahkan larangan merayakan tahun baru Cina tersebut dibakukan dalam Inpres Nomor 14/1967 yang mengatur tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Tetapi, pada tahun 2000, Gus Dur selaku presiden RI mencabut Inpres tersebut. Dan sejak itu, warga Indonesia keturunan Tionghoa dapat dengan bebas merayakan Imlek kembali.
Bahkan, tahun 2001, Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, yakni hanya bagi mereka yang merayakannya. Dan pada tahun 2003, Megawati Soekarnoputri meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional.
Lalu, bagaimana dengan sejarah Imlek sendiri dalam tradisi Tionghoa?
Imlek atau disebut Guo Nian atau Xin Jia yang berarti “lewat bulan” atau “bulan baru” di negara asalnya ini sudah dimulai sejak 2573 tahun lalu dalam sistem penanggalan lunar.
Perayaan Imlek yang pertama di negeri Cina diselenggarakan di bawah pemerintahan Kaisar Wudi. Saat itu kaisar ingin menggunakan kalender bulan dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
Sebelumnya, masyarakat Cina, atau disebut Tionghoa atau orang Hokkian, sudah lama mempunyai ritual pemujaan agar hasil panen mereka selamat dan berlimpah.
Tanggal pertama pada tahun lunar yang ditetapkan Kaisar Wudi kemudian digunakan untuk mengadakan ritual tersebut. Ini juga menjadi embrio bagi festival perayaan musim semi yang bertepatan dengan awal tahun dalam kalender bulan.
Pada pemerintahan Dinasti Han, festival musim semi yang bertepatan dengan awal tahun baru tersebut menjadi hari raya nasional. Dalam merayakannya, seluruh penduduk berkumpul dan dimulailah tradisi-tradisi seperti membakar bambu layaknya kembang api dan menggantung bilah-bilah kayu pohon persik.
Terdapat sebuah legenda yang disebut sebagai awal dari perayaan tahun baru Cina ini, yaitu legenda raksasa “Nian”. Dalam bahasa Mandarin, “Nian” juga bermakna tahun.
Dalam legende tersebut diceritakan jika Nian suka sekali melahap hasil bumi, ternak, bahkan manusia pada musim dingin yang menusuk. Para penduduk biasanya menempatkan sesaji di depan rumah agar Nian memakannya dan tidak melahap hasil bumi dan ternak mereka.
Suatu kali, para penduduk mengintip melalui jendela dari dalam rumah untuk mengawasi keadaan jika Nian tiba-tiba datang. Tidak disangka mereka melihat seorang anak sedang berlarian. Pada waktu yang sama, Nian terlihat dari jauh. Tetapi alih-alih menyerang anak berbaju merah tersebut, Nian justru berlari ketakutan.
Sejak itulah penduduk memberanikan diri keluar pada musim dingin. Mereka memakai baju merah dan memasang ornamen-ornamen berwarna merah agar Nian tak datang. Para penduduk juga menggantungkan lentera dan menyalakan kembang api.
Karena itulah, Imlek identik dengan warna merah, lentera, dan juga kembang api. ***