Sejarah Asal Muasal G30S/PKI dan Keterlibatan Propaganda Barat

waktu baca 5 minutes
Selasa, 30 Sep 2025 11:43 0 Nazwa

OPINI | TD — Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) bukan semata kisah penculikan dan pembunuhan para jenderal. Ia juga merupakan potret bagaimana isu politik yang diperdebatkan, operasi informasi asing, dinamika internal militer, dan lemahnya koordinasi politik bertransformasi menjadi salah satu tragedi nasional paling kelam pasca kemerdekaan Indonesia.

Isu “Dewan Jenderal”: Narasi, Kontroversi, dan Propaganda Barat

Narasi tentang adanya “Dewan Jenderal” yang diduga merencanakan kudeta terhadap Presiden Soekarno menjadi pemantik awal. Isu ini tidak berdiri sendiri, tetapi berkelindan dengan rivalitas faksi di tubuh Angkatan Darat (AD), dinamika politik di sekitar istana, serta operasi informasi eksternal pada masa Perang Dingin.

Beberapa dokumen yang disebut sebagai bukti rencana kudeta beredar luas, termasuk temuan di lokasi yang dianggap tidak lazim. Keotentikan dokumen-dokumen tersebut sering dipersoalkan dan dalam literatur modern kerap dikategorikan sebagai kemungkinan planting evidence. Posisi historiografis yang hati-hati menilai isu “Dewan Jenderal” tetap kontroversial dan lebih banyak dimanfaatkan berbagai aktor untuk membenarkan langkah politik maupun operasi militer.

Dokumen Gilchrist: “Bukti” yang Diperdebatkan

Salah satu temuan yang menimbulkan kontroversi adalah Gilchrist Document yang dikaitkan dengan Duta Besar Inggris, Sir Andrew Gilchrist. Dokumen ini sering diposisikan sebagai isyarat adanya koordinasi dan propaganda Barat bersama elemen militer Indonesia.

Namun, banyak kajian meragukan keotentikan dokumen tersebut, bahkan menganggapnya sebagai kemungkinan rekayasa intelijen. Meski demikian, secara propaganda dokumen ini efektif: ia memperkuat persepsi ancaman, menambah kesan bahwa situasi politik sangat genting, dan memengaruhi keputusan aktor-aktor domestik.

Infrastruktur Domestik: Dinamika Internal AD dan Aktor Istana

Untuk memahami mengapa operasi 30 September berujung kacau, penting menelaah faktor domestik, di antaranya:

  • Faksionalisasi di tubuh AD: antara Kostrad, RPKAD, dan perwira menengah dengan orientasi politik berbeda.
  • Cakrabirawa, pasukan pengawal presiden yang mandatnya berada di luar struktur komando AD reguler.
  • Rantai komando kabur menjelang 30 September – 1 Oktober, sehingga banyak unit bergerak tanpa koordinasi jelas, memicu miskomunikasi dan improvisasi di lapangan.

Faktor-faktor tersebut menjelaskan mengapa rencana yang sederhana di atas kertas gagal total saat dijalankan.

Peran DN Aidit, Biro Khusus, dan Instruksi Operasi

Sebagai Ketua CC PKI, D.N. Aidit menonjol sebagai figur politik utama. Beberapa studi menilai tujuan awal operasi adalah menjemput dan mengamankan sejumlah jenderal untuk dihadapkan pada Presiden Soekarno, bukan membunuh mereka.

Namun detail operasional, termasuk dugaan keterlibatan Biro Khusus, masih diperdebatkan. Yang relatif bisa disepakati ialah eskalasi kekerasan di lapangan: sebagian target melawan, pasukan panik, dan pimpinan operasi gagal mengendalikan situasi. Aidit kemudian melarikan diri ke Jawa Tengah, tertangkap, dan dieksekusi pada November 1965.

Dari Penculikan ke Pembunuhan: Pergeseran Rencana

Analisis pascakejadian—termasuk Analisa Supardjo—mengungkap sejumlah kelemahan:

  • Instruksi politik bersifat umum, tidak operasional.
  • Pasukan heterogen dan bukan unit elit intelijen.
  • Kepemimpinan lapangan lemah.
  • Koordinasi antar-unit buruk, ditambah kabar burung yang mempertinggi paranoia.
  • Perlawanan dari target membuat situasi memburuk secara cepat.

Kombinasi faktor tersebut menjelaskan mengapa “politik penjemputan” bergeser menjadi “tragedi pembunuhan”—lebih karena miskomando, improvisasi, dan eskalasi situasional, bukan rencana pembantaian terstruktur dari pusat.

Dimensi Perang Dingin: Ideologi, SDA, dan Efek Domino

Bagi Barat, kekhawatiran terhadap PKI tidak hanya ideologis, tetapi juga ekonomi-strategis:

  • Potensi tertutupnya akses modal asing ke sumber daya alam Indonesia (minyak, gas, tembaga, emas, nikel, perkebunan).
  • PKI sebagai salah satu partai komunis terbesar di luar Tiongkok dan Uni Soviet menimbulkan kekhawatiran “efek domino” di Asia Tenggara.

Arsip deklasifikasi menunjukkan adanya dukungan politik dan informasi dari pihak asing terhadap langkah-langkah anti-PKI, serta jejak operasi propaganda yang memengaruhi opini publik.

Dari Lubang Buaya ke Konsolidasi Kekuasaan

Tragedi Lubang Buaya menjadi “amunisi naratif” kuat untuk membingkai PKI sebagai dalang G30S. Narasi ini segera memberi legitimasi bagi operasi kontra-komunis dan gelombang kekerasan terhadap simpatisan PKI sejak Oktober 1965 hingga 1966.

Dalam situasi politik-keamanan yang kacau, Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966 menerbitkan Supersemar, yang memberikan kewenangan kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keamanan. Dari mandat ini, dilakukan konsolidasi aparat, pembubaran PKI, serta penguatan rezim baru yang membuka kembali jalur investasi asing melalui UU Penanaman Modal Asing 1967.

Ekonomi-Politik Pasca 1965: Normalisasi dan Pembukaan

Periode 1966–1967 ditandai dengan stabilisasi politik, normalisasi hubungan luar negeri, dan pembukaan ekonomi. Dalam fase ini, jaringan propaganda Barat bekerja secara halus:

Menguatkan narasi antikomunis melalui informasi gelap.
Menjalin diplomasi tertutup dan pertukaran intelijen.
Memberi insentif ekonomi yang mendorong liberalisasi pasar.

Pola ini bukan operasi militer terbuka, melainkan arsitektur politik yang menggeser arah kebijakan nasional sekaligus membuka jalan bagi kepentingan korporasi multinasional.

Historiografi: Spektrum Bacaan

Memahami tragedi 1965–1966 membutuhkan spektrum bacaan yang luas:

  • Narasi resmi Orde Baru (Nugroho Notosusanto) yang menempatkan PKI sebagai dalang utama.
  • Kajian akademik kritis seperti Cornell Paper (Benedict Anderson & Ruth McVey), John Roosa, Geoffrey Robinson, Jess Melvin, Rex Mortimer, dan Antonie C.A. Dake.
  • Sumber primer: Analisa Supardjo, arsip diplomatik deklasifikasi (termasuk rilis 2017), serta penelitian berbasis daerah.

Penutup: Membaca dengan Jernih

Tragedi G30S/PKI menunjukkan bagaimana isu politik, operasi informasi, dan kelemahan komando dapat menyulut tragedi berdarah. Di balik slogan ideologi, perebutan sumber daya dan akses ekonomi sering menjadi panggung tersembunyi yang memengaruhi jalannya sejarah.

Membaca peristiwa 1965 menuntut ketegasan untuk membedakan fakta, interpretasi berbasis bukti, dan klaim kontroversial. Pada akhirnya, kedaulatan bangsa tidak hanya diuji di medan tempur, tetapi juga dalam arena informasi, ekonomi, dan politik global.

Penulis: Sugeng Prasetyo

Referensi

  1. Wikipedia – Gilchrist Document
  2. Literasi Islam – Dokumen Gilchrist & Peran Asing di Balik G30S/PKI
  3. National Security Archive – Declassified Files US Support 1965
  4. Human Rights Watch – Indonesia US Documents 1965
  5. Time – Indonesia Crimes Against Humanity 1965
  6. Wikipedia – The Jakarta Method
  7. Wikipedia – Cornell Paper. (*)
LAINNYA