RUU Perampasan Aset: Menguak Tarik-Ulur Kepentingan di Balik Meja Parlemen hingga 2025

waktu baca 3 minutes
Selasa, 7 Okt 2025 00:02 0 Redaksi

OPINI | TD — Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang sudah lama digadang-gadang sebagai alat penting dalam pemberantasan korupsi akhirnya masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025-2026. Meski begitu, perjalanan RUU ini penuh tarik-ulur kepentingan yang membuat proses pembahasannya kerap tersendat. Pertanyaannya kini: apakah RUU ini benar-benar akan menjadi senjata ampuh memulihkan aset negara, atau justru alat politik yang disalahgunakan?

Antara Semangat Pemberantasan Korupsi dan Ketidakpastian Politik

RUU Perampasan Aset secara prinsip diharapkan menjadi payung hukum yang kuat untuk menyita harta koruptor dan mengembalikannya ke kas negara. Namun, sejarah panjang sejak awal inisiatif RUU ini—yang sudah berjalan lebih dari 20 tahun—menunjukkan betapa beratnya resistensi politik terhadap aturan ini. Ketua Baleg DPR Bob Hasan menjanjikan pembahasan terbuka, namun faktanya, berbagai kepentingan elite politik tampak enggan mendukung penuh, karena RUU ini berpotensi “mengusik” mereka.

Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan fakta pahit: kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp234,8 triliun selama 2019-2023, namun hanya sekitar 13,9% aset yang bisa dikembalikan. Ini mengindikasikan kelemahan hukum saat ini dalam menyita dan mengembalikan aset hasil korupsi. RUU Perampasan Aset seharusnya menjadi solusi, tetapi ketidakpastian proses dan potensi penyalahgunaan menjadi kendala besar.

Potensi Penyalahgunaan dan Perlunya Mekanisme Pengawasan Ketat

Salah satu kekhawatiran utama dari berbagai kalangan adalah bahwa RUU ini bisa menjadi alat politik yang disalahgunakan untuk membungkam oposisi atau menjadi senjata kekuasaan. Peneliti Transparency International Indonesia, Danang Widoyoko, mengingatkan pentingnya kriteria perampasan aset yang ketat dan proses hukum yang transparan dan adil.

Syarat seperti perampasan hanya dapat dilakukan jika pelaku tindak pidana tidak diketahui keberadaannya, sakit permanen, atau meninggal dunia harus menjadi pegangan. Selain itu, prinsip pembuktian terbalik (burden of proof) harus tetap dijaga, di mana pihak yang asetnya dirampas berhak membuktikan asal usul kekayaan mereka. Tanpa mekanisme ini, RUU bisa berubah menjadi alat represif, bukan alat pemberantasan korupsi.

Pengelolaan Aset dan Transparansi Publik: Kunci Keberhasilan

Pasal dalam draf RUU yang menyatakan aset hasil rampasan diserahkan kepada Jaksa Agung harus diiringi dengan transparansi total. Publik berhak tahu berapa aset yang berhasil dikembalikan dan bagaimana pengelolaannya. Model transparansi yang diterapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pelelangan aset bisa menjadi contoh yang baik.

Lebih dari itu, harmonisasi RUU Perampasan Aset dengan undang-undang terkait seperti UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Narkotika sangat penting untuk menghindari tumpang tindih aturan yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

Harapan pada Partisipasi Publik dan Pengawasan Independen

Koalisi sipil menekankan agar pembahasan RUU dilakukan secara transparan dan melibatkan publik secara aktif. Mekanisme seperti hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan bisa menjadi pengawal agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, pengaturan terkait unexplained wealth atau harta tidak wajar yang tidak bisa dijelaskan asal-usulnya harus diakomodasi agar penyitaan aset ilegal lebih mudah dan efektif.

Kesimpulan: Antara Harapan dan Tantangan Besar

RUU Perampasan Aset memiliki potensi besar menjadi tonggak pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, tanpa komitmen kuat dari parlemen, pemerintah, dan pengawasan publik, RUU ini bisa jadi hanya menjadi angin lalu yang gagal membawa perubahan berarti.

Perlu diingat, pemberantasan korupsi bukan hanya soal hukum yang ketat, tapi juga soal integritas dan mentalitas penegak hukum serta politisi. Jika paradigma ini tidak berubah, maka hukum sehebat apapun tetap akan sia-sia.

Sebagai mahasiswa dan generasi muda, kita harus terus mengawal proses legislasi ini agar RUU Perampasan Aset tidak sekadar menjadi jargon politik, tapi benar-benar menjadi senjata efektif untuk membangun Indonesia yang lebih bersih dan adil.

Penulis: Fatimah Azzahra, Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)

LAINNYA