Revisi UU TNI: Jalan Tengah atau Ancaman bagi Demokrasi?

waktu baca 2 minutes
Sabtu, 4 Okt 2025 08:13 0 Nazwa

OPINI | TD — Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) bukanlah isu teknis semata, melainkan perdebatan besar yang menyentuh fondasi demokrasi kita. Sejak reformasi 1998, bangsa ini sepakat menegakkan supremasi sipil di atas militer dengan menghapus dwifungsi ABRI. Namun, wacana revisi UU TNI kini kembali membuka ruang diskusi: apakah revisi ini akan memperkuat pertahanan negara di tengah tantangan baru, atau justru menghidupkan kembali bayang-bayang dominasi militer dalam politik?

Bagi kelompok yang pro, revisi dianggap sebagai kebutuhan strategis. Dunia kini menghadapi ancaman non-tradisional: perang siber, terorisme, hingga bencana alam skala besar. TNI dinilai harus diberi ruang lebih luas untuk merespons tantangan tersebut. Pemerintah bahkan menekankan, selama peran tambahan itu berada dalam koridor hukum, revisi justru akan memperkuat sistem pertahanan negara.

Namun, keraguan muncul dari kelompok kontra. Mereka mengingatkan bahwa sejarah mencatat betapa kuatnya pengaruh militer dalam politik pernah menggerus demokrasi. Jika revisi membuka peluang prajurit aktif ditempatkan di lembaga sipil atau memberi kewenangan yang terlalu luas, maka garis batas antara militer dan sipil bisa kembali kabur. Dalam jangka panjang, hal ini berisiko mengurangi kontrol sipil atas militer dan melemahkan demokrasi.

Menurut saya, revisi UU TNI harus ditempatkan pada koridor yang jelas: memperkuat pertahanan tanpa mengulang masa lalu yang kelam. Artinya, ruang gerak militer di luar fungsi pertahanan perlu diatur dengan tegas dan terbatas, sementara supremasi sipil tetap dijaga. Demokrasi Indonesia sudah membayar mahal harga reformasi, jangan sampai tergadaikan hanya karena dalih kebutuhan strategis.

Revisi UU TNI bisa menjadi langkah maju jika dilakukan hati-hati, transparan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Namun jika tidak, ia justru berpotensi menjadi pintu masuk kemunduran demokrasi. Pilihannya kini ada di tangan para pengambil kebijakan: apakah akan menapaki jalan tengah yang memperkuat demokrasi sekaligus pertahanan, atau membuka ruang bagi kembalinya dominasi militer dalam kehidupan politik bangsa?

Penulis: Alifia Namira Anjani, Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA. (*)

LAINNYA