OPINI | TD — Presiden Prabowo Subianto melakukan reshuffle kabinet pada awal September 2025, termasuk mencopot Sri Mulyani Indrawati dari posisi Menteri Keuangan. Posisi tersebut digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa, mantan Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Langkah ini diambil di tengah gelombang protes publik yang meluas, terutama terkait fasilitas dan tunjangan besar anggota DPR, seperti tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, serta kenaikan biaya hidup yang semakin memberatkan masyarakat.
Reshuffle kabinet ini terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama pada 8 September 2025 mengganti sejumlah menteri strategis, termasuk Menko Polkam Budi Gunawan dan Menteri Perlindungan Pekerja Migran Abdul Kadir Karding. Gelombang kedua pada 18 September 2025 menyusul pergeseran posisi Menteri BUMN Erick Thohir menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan bahwa reshuffle dilakukan berdasarkan masukan publik dan evaluasi kinerja menteri secara terus-menerus.
Pergantian menteri-menteri utama ini tak lepas dari evaluasi kinerja yang dianggap kurang memuaskan. Sri Mulyani dan Abdul Kadir Karding menjadi korban reshuffle karena dianggap gagal memenuhi ekspektasi presiden dan publik. Namun, para analis politik menilai bahwa reshuffle ini bukan sekadar evaluasi biasa, melainkan juga langkah konsolidasi kekuasaan Presiden Prabowo. Dengan mengganti menteri dari rezim sebelumnya dengan loyalisnya, Prabowo memperkuat basis politiknya di dalam pemerintahan.
Selain itu, reshuffle juga dapat dipandang sebagai respons langsung terhadap tekanan publik yang menuntut perubahan terkait isu ekonomi dan keamanan. Penempatan figur baru di posisi strategis, seperti Menteri Keuangan dan Menko Polkam, diharapkan mampu meredam gejolak sosial dan memperbaiki kinerja pemerintah. Namun, reshuffle juga berfungsi sebagai alat penyeimbang politik antar partai pendukung dalam koalisi, sekaligus mempertahankan dominasi Gerindra.
Para ahli politik memberikan pandangan mendalam terkait reshuffle ini. Mereka menilai gaya kepemimpinan pragmatis Presiden Prabowo tercermin dari langkah reshuffle bertahap dan meninggalkan posisi kosong sementara waktu, sebagai cara mengukur respons publik sekaligus menegaskan ketegasan kebijakan. Meski demikian, ada kekhawatiran reshuffle yang terlalu sering justru bisa menimbulkan instabilitas politik dan menurunkan kepercayaan investor.
Lebih jauh, ada skeptisisme di kalangan masyarakat mengenai motif reshuffle. Banyak yang beranggapan bahwa pergantian menteri lebih dipicu oleh tekanan publik yang memuncak ketimbang evaluasi sistemik yang mendalam. Peran media sosial dan survei pun memperlihatkan sentimen negatif terhadap reshuffle ini, dengan 64% komentar di platform seperti TikTok dan Twitter mengekspresikan ketidakpuasan. Mereka menuntut perubahan yang substansial, seperti tata kelola yang lebih transparan, pengelolaan keuangan negara yang akuntabel, dan pengurangan beban pajak serta tunjangan berlebihan.
Meskipun begitu, ada sekitar 35% netizen yang menyambut baik reshuffle ini, berharap para menteri baru dapat membawa perbaikan nyata, terutama dalam mengatasi masalah harga pangan dan lapangan kerja. Dunia usaha juga memberikan dukungan, berharap kesinambungan fiskal tetap terjaga dan target pertumbuhan ekonomi tercapai.
Namun, keberhasilan reshuffle akan sangat bergantung pada kemampuan menteri baru untuk menerjemahkan visi Presiden Prabowo yang tertuang dalam Astacita. Bila perubahan hanya bersifat kosmetik, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah justru bisa makin dalam dan memicu gelombang protes yang lebih besar, terutama dari kelompok masyarakat yang paling terdampak.
Reshuffle kabinet September 2025 adalah langkah strategis yang lahir dari berbagai tekanan dan pertimbangan, mulai dari evaluasi kinerja hingga konsolidasi politik internal. Respon publik yang beragam—dari harapan hingga skeptisisme—menjadi cermin bahwa perombakan ini tidak boleh berhenti pada pergantian nama semata, melainkan harus diikuti dengan perubahan nyata dalam tata kelola pemerintahan.
Jika berhasil, reshuffle ini bisa menjadi tonggak penting dalam memperkuat stabilitas politik dan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Namun jika gagal, maka reshuffle hanya akan menjadi drama politik yang memperburuk kepercayaan rakyat dan menghambat kemajuan negara.
Penulis:
Khoir Afandi
Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik
FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)