Rakyat dalam Demokrasi: Penonton atau Pemilik Panggung?

waktu baca 5 minutes
Sabtu, 18 Okt 2025 20:12 0 Nazwa

OPINI | TD — Di atas kertas, demokrasi selalu menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Namun dalam praktiknya, muncul pertanyaan besar: apakah rakyat benar-benar menjadi aktor utama dalam panggung politik, atau hanya sekadar penonton yang suaranya dibeli setiap lima tahun sekali?

Fenomena politik uang, dominasi elit, dan maraknya politik identitas menunjukkan bahwa rakyat sering kali dipinggirkan dari makna sejati demokrasi. Dalam sistem yang ideal, setiap keputusan politik dan arah pembangunan negara seharusnya lahir dari aspirasi rakyat. Tetapi kenyataan berbicara lain — peran rakyat sering berhenti di bilik suara. Setelah tinta di jari mengering, keterlibatan rakyat pun seolah berakhir.

Kita menyaksikan bagaimana demokrasi di Indonesia masih berkutat pada level prosedural: rakyat memilih, elit berkuasa. Padahal, demokrasi sejati menuntut lebih dari sekadar pesta pemilu lima tahunan. Ia menuntut partisipasi aktif dan kesadaran kolektif bahwa rakyatlah yang seharusnya mengendalikan arah kebijakan negara.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Oligarki ekonomi dan politik uang membuat rakyat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan. Janji ditebar ketika kampanye, tetapi begitu jabatan diraih, rakyat kembali ditinggalkan. Demokrasi pun kehilangan rohnya, berubah menjadi ritual formal tanpa substansi.

Ketika Rakyat dan Pemerintah Tak Lagi Searah

Hubungan ideal antara rakyat dan pemerintah semestinya bersifat saling melengkapi. Pemerintah lahir dari mandat rakyat, dan rakyat memberikan kepercayaan agar kehidupan bersama bisa diatur demi kesejahteraan umum. Tetapi, yang tampak hari ini adalah jarak yang semakin lebar — rakyat merasa diabaikan, sementara pemerintah merasa paling tahu apa yang terbaik bagi rakyat.

Fenomena “rakyat vs pemerintah” menandakan krisis kepercayaan yang kian dalam. Banyak kebijakan dianggap tidak berpihak pada masyarakat kecil: harga kebutuhan pokok yang naik, sumber daya alam yang dikuasai korporasi besar, hingga lemahnya penegakan hukum terhadap pejabat korup. Tak heran bila rakyat menilai pemerintah lebih sibuk melayani kekuasaan daripada mendengarkan suara mereka.

Padahal, dalam demokrasi, pemerintah bukan penguasa mutlak — melainkan pelayan rakyat. Ketika suara rakyat diabaikan, legitimasi moral pemerintah pun melemah. Demokrasi kehilangan maknanya, menjadi sekadar slogan yang hampa.

Namun, hubungan yang retak ini tidak harus dibiarkan. Rakyat tak cukup hanya mengeluh di media sosial. Mereka perlu membangun kesadaran politik, memperkuat partisipasi dalam ruang publik, dan aktif menjadi pengawas kebijakan. Di sisi lain, pemerintah harus membuka ruang dialog, mendengar kritik, dan menegakkan transparansi.

Rakyat dan pemerintah bukan dua pihak yang berhadapan, tetapi dua kekuatan yang saling bergantung. Pemerintah kuat karena dukungan rakyat; rakyat sejahtera karena kebijakan pemerintah yang adil. Pertanyaan yang seharusnya kita ajukan bukan lagi “siapa melawan siapa,” melainkan bagaimana keduanya bisa berjalan berdampingan untuk kepentingan bersama.

Kemitraan Setara: Jalan Menuju Demokrasi yang Beradab

Demokrasi tidak akan berfungsi jika rakyat terus diposisikan sebagai penonton. Ia hanya hidup ketika rakyat dan pemerintah menjalankan perannya secara setara. Rakyat harus aktif menyuarakan aspirasi dan mengawal kebijakan; sementara pemerintah wajib membuka diri terhadap kritik dan menjalankan amanah dengan jujur.

Kemitraan yang sejati bukanlah hubungan hierarkis, melainkan kerja sama yang dilandasi rasa saling menghormati. Pemerintah hadir sebagai pelayan, bukan penguasa; rakyat menjadi pengawal kebenaran, bukan sekadar massa yang dimobilisasi.

Jika prinsip kesetaraan ini diwujudkan, demokrasi Indonesia tidak hanya menjanjikan kebebasan, tetapi juga menegakkan keadilan sosial. Demokrasi yang hidup di tengah rakyat — bukan di meja elit. Demokrasi yang memberi ruang bagi suara kecil, melindungi yang lemah, dan memastikan setiap warga merasakan hasil pembangunan bangsa.

Rakyat Muda dan Tantangan Tenggang Rasa

Dalam konteks ini, generasi milenial dan Gen Z memiliki peran strategis. Mereka kini menjadi kelompok demografis terbesar di Indonesia, tumbuh di tengah arus informasi yang cepat dan dunia digital yang tanpa batas. Namun, di balik kemajuan itu, muncul tantangan besar: bagaimana menjaga tenggang rasa di tengah perbedaan yang semakin beragam?

Tenggang rasa bukan sekadar sopan santun, tetapi cermin empati dan penghormatan terhadap sesama. Di dunia digital yang serba cepat, perbedaan pendapat sering berubah menjadi ajang saling serang, bahkan cancel culture. Padahal, generasi muda memiliki potensi besar untuk menjadi motor perubahan sosial — jika mereka mampu menyeimbangkan kecerdasan digital dengan kedewasaan moral.

Menjadi rakyat muda yang ber-tenggang rasa berarti menghargai perbedaan, berdialog dengan pikiran terbuka, dan menggunakan media sosial untuk mempererat, bukan memecah belah. Tindakan sederhana seperti menolong tanpa pandang latar belakang atau menahan diri dari ujaran kebencian adalah bentuk nyata kontribusi bagi demokrasi.

Indonesia tidak membutuhkan generasi yang hanya melek teknologi — kita butuh generasi yang melek empati. Mereka yang menggunakan kecanggihan digital untuk memperkuat solidaritas, bukan menyebar kebencian.

Penutup: Kembalikan Panggung Itu pada Rakyat

Pada akhirnya, pertanyaan mendasar harus dijawab bersama: dalam demokrasi kita hari ini, apakah rakyat masih menjadi pemilik panggung, atau sudah berubah menjadi penonton yang hanya bertepuk tangan?

Demokrasi sejati tidak lahir dari pesta politik lima tahunan, tetapi dari partisipasi yang terus hidup setiap hari. Dari rakyat yang berani bersuara, dari pemerintah yang mau mendengar, dan dari generasi muda yang menjaga tenggang rasa dalam keberagaman.

Jika panggung demokrasi dikembalikan kepada rakyat, maka Indonesia tidak hanya akan menjadi negara yang demokratis secara prosedural — tetapi juga berdaulat secara moral dan berkeadilan secara sosial.

Penulis: Taib Hasan
Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA. (*)

LAINNYA