KOTA TANGERANG | TD — PT Tangerang Nusantara Global (TNG) menjawab kritik Komisi III DPRD Kota Tangerang soal minimnya pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor jasa transportasi.
Kepala Unit Angkutan Perkotaan PT TNG, Asep Yuyun Mulyana mengatakan sebenarnya Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang tidak bisa mengambil keuntungan dari bidang transportasi. Pasalnya, bidang transportasi merupakan bentuk pelayanan untuk masyarakat
“Kalau yang namanya angkutan umum itu, mau survei ke BPTJ atau Semarang atau Solo, ya semua disubsidi dan tidak menguntungkan. Kalau menguntungkan itu bukan kewajiban pemerintah,” ujarnya, Jumat (4/6/2021).
Menurut Asep, Pemkot Tangerang wajib memberikan subsidi bagi pengoperasian transportasi jika sektor pelayanan publik itu tidak mendapatkan keuntungan. Hal itu, kata dia, sesuai dengan amanat undang-undang (UU) tentang penyelenggaraan angkutan.
“Pada saat transportasi itu dioperasikan dan dia tidak menguntungkan maka pemerintah wajib menyubsidi, karena itu amanat UU-nya seperti itu, penyelenggaraan angkutan adalah kewajiban pemerintah daerah provinsi dan kota,” tambahnya.
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Kota Tangerang itu saat ini mengelola angkot Si Benteng dan Bus Tangerang Ayo (Tayo) untuk sektor jasa transportasi publik. Namun dalam pengoperasiannya, PT TNG bekerja sama dengan perusahaan swasta.
Asep mengakui, sebagai BUMD, PT TNG memang berfungsi untuk menyangga PDA Kota Tangerang, tetapi pada bidang transportasi, PT TNG hanya ditugaskan mengelola pelayanan publik.
“Betul BUMD kan benefit profit (mencari keuntungan). Tapi ini kan penugasan, sifatnya pelayanan. BUMD memang harus profit, tapi ada juga kan tugas diberikan untuk pelayanan. Kami ini untuk pelayanan masyarakat. Dipakai atau tidak kita harus tetap melayani masyarakat,” katanya.
Sebelumnya anggota Komisi III DPRD Kota Tangerang Fauzan Manafi mengatakan, biaya operasional Bus Tayo lebih besar dibandingkan pendapatan yang dihasilkan. Fauzan menyebutkan, pada tahun 2020, biaya operasional Bus Tayo sebesar Rp17 miliar, sedangkan pendapatan yang dihasilkan hanya Rp990 juta.
Asep menilai rendahnya pendapatan tersebut dinilainya sangat wajar, karena saat ini masih kondisi pandemi covid-19 yang berdampak pada menurunnya mobilitas masyarakat menggunakan transportasi umum.
“Kalau sekarang penurunan pendapatan ya wajar karena lagi musim seperti ini (covid-19), kuota kendaraan hanya bisa diisi 50 persen. Bukan cuma si Tayo saja, kereta saja sekarang kosong terus. Kondisi seperti ini sangat berimbas sekali (pada pendapatan),” jelasnya.
Asep juga mengakui kalau Angkot Si Benteng saat ini operasionalnya belum maksimal. Hal itu dikarenakan jumlah trayek yang masih sedikit. Hanya 4, diantaranya, Taman Cibodas – Situ Bulakan, Gandasari – Gajah Tunggal, Gajah Tunggal – Kampung Ledug dan Terminal Cimone – Pasar Lama. Saat ini ada 80 unit angkot. Sementara biaya operasionalnya mencapai Rp10 Miliar.
“Dari 80 angkot, 1 trayek ada 20 angkot. Itu terlalu berdekatan. Rencananya kami mau menambahkan trayeknya,” ungkap Asep.
Asep juga memahami soal Si Benteng yang harus bersaing dengan jasa moda transportasi lainnya seperti ojek dan taksi daring. Kendati demikian, menurut dia, konteksnya bukan persaingan, namun pelayanan kepada masyarakat.
“Memang tidak tepat (lahir disaat yang tidak tepat), memang iya, karena sudah lebih duluan ada Grab dan lain lain, betul seperti itu,” katanya.
Sementara, menjawab permintaan Komisi III DPRD Kota Tangerang agar tarif angkot Si Benteng dan bus Tayo digratiskan serta pengelolaannya dikembalikan kepada Dinas Perhubungan (Dishub), menurut Asep sama saja akan mengeluarkan biaya operasional, karena tidak bisa mencari pendapatan selain dari tarif.
“Kalau mau digratiskan, ya jangan minta pendapatan kan. Kalau digratiskan tapi minta pendapatan, ya repot. Sekarang kan titik persoalannya apa, solusinya harus bagaimana. Kan harusnya seperti itu,” pungkasnya. (Eko Setiawan/Rom)