Sylvia Plath, Suara Perempuan yang Tajam dari Seorang Penyair

Sylvia Plath, seorang penyair yang menjadi ikon perjuangan hak perempuan karena puisi-puisinya yang tajam. (Foto: instagram @telerama)
Bagikan:

TANGERANG | TD – Salah satu penulis perempuan yang memikat perhatian dalam dunia sastra adalah Sylvia Plath. Ia menuliskan puisi-puisi yang mencerminkan imajinasinya yang sanggup mengoyak perhatian dan perasaan pembacanya.

Sylvia Plath (1932-1963), dengan bahasa puitikanya mampu menginspirasi banyak orang yang merasa senasib dengannya, terutama mereka yang ditinggalkan orang terkasih dan juga para perempuan yang terpinggirkan.

Meskipun banyak di antara gaya bahasa yang ia gunakan terkesan brutal, tetapi beberapa ahli bahasa mengatakan Plath berhasil mengendalikan sikap sinisnya menjadi suara yang puitis dan pembela hak perempuan.

Hal ini tercantum di laman poetryfoundation. Pada laman tersebut, Thomas McClanahan, penulis esai Dictionary of Literary Biography, mengatakan,”Dalam artikulasinya yang paling jelas, merenungkan sifat puitika yang inspiratif, (Plath) adalah suara sinisme yang berhasil diarahkan, yang dengan jernih menggambarkan batas-batas antara harapan dan kenyataan. Dalam kondisi terbaiknya yang brutal–dan Plath adalah penyair yang brutal–dia membuka sumber kekuatan yang mengubah suara puitiknya menjadi suara yang memekikkan keperempuanannya dan juga ketidakbersalahannya.”

Kebrutalan bahasa yang dimiliki Sylvia Plath merupakan salah satu ciri bipolar yang ia derita. Sylvia sendiri pernah mengungkapkan bahwa hidupnya dipenuhi oleh dua arus, yaitu bahagia dan kesedihan. Di hari salah satu arus tersebut memenuhinya, maka hanya perasaan tersebutlah yang membanjirinya.

Salah satu puisi Sylvia Plath yang mendapatkan banyak perhatian adalah Ariel. Dalam esai yang mengupasnya, disebutkan bahwa Plath mengkritisi pengekangan perempuan dalam tugas-tugas domestiknya, yang juga ia alami sendiri.

Berikut ini adalah puisi Ariel yang ditulis oleh Sylvia Plath pada saat ia bersusah payah merawat dua buah hatinya, yang penulis berusaha terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Ariel
KARYA SYLVIA PLATH

Mandeg dalam kegelapan.
Kemudian biru tanpa bentuk
Melumuri puncak gunung dan di kejauhan.

Singa betina tuhan,
Betapa kita bertambah tua,
Sendi-sendi tumit dan lutut!- Kerutan

Bertambah banyak dan melintas-lintas, saudari, ke
Lengkung cokelat
Di leher yang tak dapat kusergap

Bola mata hitam beri tersangkut umpan terlarang

Cairan pekat manis memenuhi mulut,
Membayang-bayangi.
Sesuatu yang lain

Membumbungkanku ke udara-
Tungkai-tungkai, rambut;
menyerpih-nyerpih dari tumitku.

White
Godiva, tak kubuka–
Tangan-tangan saling mencengkeram, cengkeraman yang erat mematikan.

Dan sekarang aku
Membuihkan gandum, titik kilau dari ombak lautan.
Tangisan anak itu

Meleleh di dinding.
Dan akulah
Anak panahnya,

Uap-uap air yang terbang
Bunuh diri, dalam satu bantingan
Ke dalam warna merah

Mata, cerek di pagi hari.

Puisi tersebut dipublikasikan untuk pertama kalinya di tahun 1965, dua tahun setelah kepergian Plath. Plath dikenang oleh para pengagumnya. Bahkan kehidupannya seringkali menjadi bahan diskusi. Ia meninggal bunuh diri dengan gas dari oven karena depresi yang tak tertolong. (*)

Bagikan: