Politik Identitas dan Kemiskinan: Ketika Perbedaan Menjadi Penghalang Kesejahteraan

waktu baca 4 minutes
Jumat, 17 Okt 2025 22:20 0 Nazwa

OPINI | TD — Setiap musim pemilu, wajah-wajah lama muncul kembali dengan janji baru: menyejahterakan rakyat kecil. Namun, di balik janji itu, ada kenyataan yang jarang disorot — politik yang berbicara atas nama rakyat, tetapi hanya memanfaatkan identitas rakyat untuk kepentingan kekuasaan.

Inilah wajah lain dari politik identitas di Indonesia: ketika agama, etnis, bahkan kelas sosial dijadikan alat mobilisasi politik. Alih-alih memperjuangkan kesetaraan, politik identitas justru memperkuat garis pemisah antarwarga dan memperdalam jurang kemiskinan.

Identitas yang Dipolitisasi, Rakyat yang Terpinggirkan

Dalam teori politik, identitas seharusnya menjadi sarana memperjuangkan hak kelompok minoritas yang tertinggal. Namun di Indonesia, praktiknya sering menyimpang. Perbedaan identitas justru digunakan untuk menggalang dukungan politik dengan cara yang eksklusif—bahkan diskriminatif.

Kita bisa melihat dampaknya dalam banyak sektor.
Komunitas adat masih sulit mengakses pendidikan karena terpinggirkan dari kebijakan pembangunan. Kelompok agama minoritas sering diabaikan dalam distribusi bantuan sosial. Sementara penyandang disabilitas menghadapi hambatan dalam memperoleh pekerjaan. Semua ini adalah bentuk eksklusi sosial, yaitu kondisi di mana kelompok tertentu kehilangan akses terhadap sumber daya publik karena identitas mereka.

Lebih ironis lagi, politik uang memperkuat rantai kemiskinan ini. Masyarakat miskin tidak lagi dilihat sebagai subjek pembangunan, tetapi sekadar “objek suara” dalam pemilu. Setelah pemungutan suara selesai, suara mereka ikut tenggelam bersama kepentingan yang telah usai.

Kemiskinan yang Bukan Sekadar Soal Ekonomi

Banyak orang beranggapan kemiskinan hanya soal kurangnya pendapatan. Padahal, akar dari kemiskinan di Indonesia sering kali bersumber dari ketidakadilan sosial dan diskriminasi identitas.

Ketika seseorang ditolak bekerja karena agamanya, atau ketika bantuan sosial hanya disalurkan pada mereka yang “sejalan” dengan penguasa, maka kemiskinan itu bukan sekadar takdir ekonomi—melainkan hasil dari struktur kekuasaan yang timpang.

Politik identitas memperkuat ketimpangan itu. Ia membelah masyarakat menjadi “kami” dan “mereka”, merusak kepercayaan antarwarga, dan melemahkan solidaritas sosial. Padahal, demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh di atas kesetaraan dan rasa saling percaya, bukan kecurigaan dan diskriminasi.

Langkah Konkret Membangun Politik yang Inklusif

Menangani eksklusi sosial akibat politik identitas tidak cukup dengan ajakan toleransi di media sosial. Dibutuhkan langkah nyata yang melibatkan pendidikan, kebijakan publik, dan pemberdayaan ekonomi.

Pertama, pendidikan multikultural harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak perlu belajar bahwa perbedaan adalah kekuatan bangsa, bukan ancaman. Lebih dari itu, pendidikan harus melatih nalar kritis agar generasi muda tidak mudah dimanipulasi oleh isu politik berbasis identitas.

Kedua, pemerintah wajib memastikan distribusi bantuan sosial yang transparan dan inklusif. Digitalisasi data penerima bantuan melalui Program Satu Data Indonesia bisa menjadi solusi efektif. Dengan sistem berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang terbuka bagi publik, potensi diskriminasi dalam penyaluran bantuan dapat ditekan.

Ketiga, penegakan hukum terhadap praktik diskriminasi harus diperkuat. Komnas HAM bersama aparat penegak hukum perlu berani menindak pelanggaran seperti pelarangan ibadah atau diskriminasi pekerjaan. Proses hukum yang terbuka akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat sekaligus menegaskan posisi negara sebagai pelindung semua warga tanpa kecuali.

Selain itu, penguatan ekonomi lokal menjadi kunci untuk memutus ketergantungan masyarakat miskin terhadap elite politik. Dukungan bagi UMKM, koperasi, dan akses modal mikro bagi kelompok minoritas harus diperluas. Ketika ekonomi rakyat kuat, politik uang kehilangan daya tawarnya.

Opini Penulis: Identitas Tak Seharusnya Menentukan Akses Hidup

Menurut saya, kemiskinan di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh lemahnya ekonomi, tetapi juga oleh cara pandang yang salah terhadap identitas. Ketika seseorang dinilai bukan karena kemampuannya, melainkan karena agamanya, sukunya, atau status sosialnya, maka sistem itu sendiri yang melahirkan kemiskinan.

Selama diskriminasi dibiarkan, sebagian masyarakat akan terus menjadi korban “kemiskinan sistemik” yang sulit keluar dari lingkarannya. Mereka bukan malas, tapi kalah oleh struktur sosial yang tidak memberi kesempatan setara.

Penutup: Saatnya Politik Kemanusiaan, Bukan Politik Identitas

Eksklusi identitas adalah luka sosial yang menghambat kemajuan bangsa. Jika dibiarkan, ia akan terus memperlebar kesenjangan dan menggerus kepercayaan publik terhadap negara.

Sudah saatnya Indonesia beralih dari politik identitas menuju politik kemanusiaan — politik yang menilai warga berdasarkan kemampuan dan kontribusinya, bukan latar belakangnya.
Perubahan ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat. Kita semua harus berani menolak politik yang membelah, dan mulai membangun solidaritas lintas identitas.

Karena sejatinya, kesejahteraan bukan hadiah dari penguasa, tetapi hak setiap manusia. Dan Indonesia hanya bisa maju bila setiap warganya, tanpa memandang siapa mereka, diberi kesempatan yang sama untuk hidup layak dan bermartabat.

Penulis : Putri Aulia Zahra, Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik (PIP), Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)

LAINNYA