Politik Ekonomi Nikel: Antara Kekayaan Alam dan Kepentingan Elite

waktu baca 3 minutes
Rabu, 15 Okt 2025 08:56 0 Nazwa

OPINI | TD — Indonesia adalah negara kaya sumber daya alam. Batu bara, nikel, emas, hingga minyak dan gas tersebar hampir di seluruh wilayah nusantara. Kekayaan ini seharusnya menjadi modal strategis untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun, realitas menunjukkan wajah yang berlawanan: konflik agraria yang meruncing, kerusakan lingkungan yang masif, dan ketimpangan sosial yang kian nyata.

Tumpang Tindih Izin: Simbol Tata Kelola yang Rapuh

Salah satu akar masalah terbesar adalah tumpang tindih izin tambang. Fenomena ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi simbol rapuhnya tata kelola sumber daya alam di Indonesia sekaligus bukti dominasi elite dalam menentukan arah kebijakan.

Masalah ini berakar dari era desentralisasi, ketika pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Alih-alih memperkuat partisipasi lokal, kewenangan ini justru dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan cepat. Ribuan izin dikeluarkan tanpa memperhatikan tata ruang atau keberlanjutan lingkungan. Bahkan, izin sering diberikan di kawasan hutan lindung, lahan pertanian produktif, atau wilayah adat—dan kerap saling tumpang tindih.

Upaya penarikan kewenangan ke pusat pada 2020 seharusnya menjadi solusi. Namun, birokrasi lambat, data tidak sinkron, dan resistensi politik daerah membuat praktik tumpang tindih terus berlangsung.

Rakyat Jadi Penonton di Tanah Sendiri

Tumpang tindih izin tambang tidak hanya masalah administratif, tetapi tragedi sosial. Banyak warga kehilangan tanah adat dan lahan pertanian yang telah digarap turun-temurun. Konflik antara masyarakat dengan perusahaan, bahkan antarwarga sendiri, kerap muncul.

Partisipasi masyarakat sering bersifat formalitas semata. Mereka diminta menandatangani persetujuan tanpa memahami konsekuensi ekologis dan sosial dari aktivitas tambang. Hasilnya, rakyat menjadi penonton sekaligus korban, sementara keuntungan tambang mengalir ke pemegang izin dan elite politik.

Kerusakan Lingkungan: Harga yang Harus Dibayar

Dampak ekologis dari tumpang tindih izin tambang sangat serius. Deforestasi besar-besaran menghilangkan keanekaragaman hayati, mempercepat perubahan iklim, dan meningkatkan risiko banjir serta longsor. Limbah tambang mencemari sungai, merusak ekosistem, dan menghilangkan sumber air bersih. Lubang tambang yang terbengkalai kerap menjadi kubangan maut bagi masyarakat sekitar.

Tumpang tindih izin melemahkan pengawasan. Perusahaan saling lempar tanggung jawab, sehingga kerusakan lingkungan tidak pernah benar-benar dipulihkan.

Dominasi Elite dan Patronase Kekuasaan

Di balik kekacauan perizinan, terdapat dominasi elite politik dan bisnis. Izin tambang menjadi alat transaksi: pengusaha memperoleh akses, elite politik memperoleh dana dan dukungan. Patronase ini membuat kebijakan sumber daya alam berpihak pada kelompok kecil, bukan rakyat luas. Akibatnya, regulasi lahir untuk memfasilitasi akumulasi kekayaan, bukan kesejahteraan publik.

Reformasi Tata Kelola: Masih Jauh dari Harapan

Pemerintah telah mencoba memperbaiki sistem perizinan melalui integrasi data online dan penarikan kewenangan izin ke pusat. Namun implementasinya belum efektif. Masih banyak izin tumpang tindih, dan praktik kolusi belum sepenuhnya hilang.

Reformasi menyeluruh diperlukan: transparansi data izin, integrasi sistem pusat-daerah, pengawasan ketat, serta keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap perizinan. Penegakan hukum terhadap korupsi dan kolusi juga harus tegas. Tanpa langkah ini, dominasi elite akan terus membayangi tata kelola sumber daya alam.

Mengembalikan Amanat Konstitusi

Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun kenyataannya, izin tambang tumpang tindih, konflik meluas, lingkungan rusak, dan rakyat tersisihkan. Selama kepentingan elite masih mengendalikan kebijakan SDA, amanat konstitusi hanya menjadi slogan kosong.

Reformasi tata kelola bukan sekadar soal administrasi, melainkan keberanian politik untuk benar-benar mengembalikan kekayaan alam kepada pemilik sahnya: rakyat Indonesia.

Penulis: Maida Safa Elvina, Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi S1 Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA. (*)

LAINNYA