Politik Balas Jasa di Birokrasi: Ketika Loyalitas Mengalahkan Kompetensi

waktu baca 5 minutes
Senin, 16 Jun 2025 12:30 0 Patricia Pawestri

OPINI | TD – Promosi jabatan dalam tubuh birokrasi idealnya menjadi refleksi dari kompetensi, profesionalisme, dan integritas. Namun, praktik di lapangan menunjukkan wajah yang berbeda. Pasca pilkada, rotasi jabatan ASN di berbagai daerah sering kali sarat muatan politik balas jasa. Mereka yang dianggap loyal kepada kepala daerah terpilih lebih berpeluang mendapatkan promosi dibandingkan mereka yang unggul dalam hal kinerja.

Teori Patronase dan Klientelisme Nyata dalam Politik Balas Jasa

Fenomena ini menggambarkan kuatnya praktik patronase dalam birokrasi. Di mana relasi patron-klien membayangi setiap keputusan administratif. Posisi strategis dalam pemerintahan tidak lagi sekadar hasil evaluasi kinerja. Tetapi hasil negosiasi politik yang menguntungkan aktor tertentu. Di balik semangat reformasi birokrasi yang digaungkan sejak lama, sistem meritokrasi justru dikerdilkan oleh loyalitas personal.

Dalam konteks sistem demokrasi, aparatur sipil negara seharusnya menjaga netralitas. Seperti yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Namun realitasnya, intervensi politik terhadap birokrasi masih menjadi praktik umum. Terutama menjelang dan setelah kontestasi elektoral.

Hal ini menunjukkan bahwa birokrasi belum sepenuhnya menjadi arena profesional yang otonom. Tetapi masih berada dalam cengkeraman kekuasaan politis yang transaksional. Kepala daerah yang terpilih kerap merasa memiliki hak untuk merombak struktur birokrasi sebagai bagian dari ‘penghargaan’ kepada tim sukses atau ASN yang berkontribusi dalam pemenangan politik. Loyalitas politik pun menjadi komoditas. Sementara, integritas dan kompetensi teknis hanya menjadi syarat administratif belaka.

Relasi ini dapat dijelaskan secara lebih dalam melalui teori patronase dan klientelisme, dua konsep penting dalam studi politik klasik. Patronase merujuk pada pemberian sumber daya. Seperti jabatan atau proyek, oleh aktor kuat (patron) kepada pihak yang lebih lemah (klien) sebagai balasan atas dukungan politik.

Klientelisme melengkapi konsep tersebut dengan menekankan hubungan timbal balik yang bersifat informal dan berskala jangka panjang. Di mana kedua belah pihak saling menguntungkan namun tidak berada dalam posisi yang setara.

Dalam praktik birokrasi di Indonesia, kepala daerah menjelma menjadi patron yang memegang kuasa atas distribusi jabatan. Sementara, ASN yang ingin naik jabatan sering kali harus menunjukkan loyalitas personal, bukan sekadar performa kerja. Ketika hubungan ini dilembagakan secara informal namun sistemik, maka prinsip meritokrasi runtuh dan birokrasi menjelma menjadi alat kekuasaan, bukan lagi pelayan publik.

Data Pelanggaran Netralitas ASN, Kasus Patronase Birokratik

Data dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) memperkuat bukti bahwa patronase birokratik bukan sekadar asumsi teoretis. Sepanjang tahun politik 2020 hingga 2022, tercatat lebih dari 2.000 pelanggaran netralitas ASN. Sebagian besar berkaitan dengan dukungan terbuka terhadap calon kepala daerah. ASN terlibat dalam kampanye, dan menunjukkan afiliasi politik. Mereka bahkan menyalahgunakan jabatan demi kepentingan elektoral.

Setelah pemilu usai, mutasi besar-besaran pun terjadi. Di Kabupaten Sabu Raijua, misalnya, puluhan ASN dimutasi tanpa prosedur uji kompetensi yang sah. Dan, KASN menilai keputusan tersebut lebih berlandaskan kepentingan politis daripada kebutuhan organisasi. Kasus serupa terjadi di Luwu Timur, Banggai, dan Pamekasan. Pola ini menunjukkan bahwa klien-klien politik diberi posisi strategis demi menjaga loyalitas, bukan karena layak secara teknokratis.

Distribusi Proyek dalam Jeratan Politik Balas Jasa atau Patronase

Tak hanya dalam mutasi dan promosi, praktik klientelisme juga merambat pada distribusi proyek dan program daerah. ASN yang memiliki kedekatan dengan kepala daerah atau elite politik cenderung diberikan kewenangan untuk menentukan rekanan proyek, dan mengatur alokasi anggaran. Mereka bahkan menjadi “gatekeeper” dalam proses lelang. Dalam situasi seperti ini, birokrasi bukan hanya disusupi kepentingan politik, tetapi juga membentuk jaringan oligarkis kecil yang menggabungkan elite politik, ASN, dan pengusaha lokal. Hubungan patron-klien yang terbangun di luar jalur institusional ini merusak transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi pemerintahan daerah. Birokrasi kehilangan fungsinya sebagai penopang negara hukum dan demokrasi. Karena yang berlaku adalah loyalitas kepada individu, bukan kepada institusi dan hukum.

Lebih mengkhawatirkan, praktik patronase mendorong ASN untuk terlibat aktif dalam politik praktis. Bukan atas dasar ideologi atau kesadaran politik, melainkan karena tekanan struktural dan harapan promosi. ASN yang bersikap netral justru berisiko terpinggirkan dari jaringan kekuasaan. Lingkaran setia dan balas budi ini menciptakan kondisi kerja yang penuh tekanan dan manipulasi. Budaya organisasi yang semestinya dibangun atas asas kinerja dan akuntabilitas berubah menjadi arena transaksional yang berorientasi pada siapa yang dikenal, bukan apa yang bisa dilakukan. Dampaknya, pelayanan publik menjadi tidak merata, inefisien, dan cenderung diskriminatif terhadap kelompok masyarakat yang tidak masuk dalam jaringan kekuasaan.

Bagaimana Mengakhiri Praktik Politik Balas Jasa

Untuk mengakhiri praktik ini, diperlukan langkah struktural dan kultural yang komprehensif. Regulasi administratif seperti larangan kampanye bagi ASN atau pengawasan mutasi jabatan oleh KASN masih belum cukup memberi efek jera. Sanksi terhadap pelanggaran netralitas ASN sering kali hanya berupa teguran atau peringatan. Sementara relasi patron-klien tetap tumbuh di balik layar. Yang dibutuhkan adalah komitmen politik dari elite untuk tidak menyalahgunakan wewenang dalam birokrasi, serta tekanan publik yang konsisten dari media, masyarakat sipil, dan kalangan akademisi. Selain itu, penguatan sistem rekrutmen, promosi, dan evaluasi kinerja berbasis kompetensi harus dilakukan secara transparan dan bebas intervensi politik.

Netralitas ASN bukan hanya soal tidak ikut kampanye, melainkan soal keberpihakan terhadap prinsip profesionalisme, keadilan, dan pelayanan publik yang berkualitas. Bila birokrasi terus dijadikan alat politik, maka demokrasi akan kehilangan salah satu pilar pentingnya: administrasi publik yang netral dan dapat dipercaya. Menata ulang loyalitas ASN dari yang semula berorientasi pada orang menjadi berorientasi pada institusi dan hukum adalah prasyarat mutlak jika kita ingin melihat birokrasi Indonesia yang lebih sehat, berintegritas, dan benar-benar bekerja untuk rakyat.

Catatan Redaksi:

Artikel ini ditulis sebagai bagian dari kajian teori politik, dengan mengangkat praktik patronase dan klientelisme dalam birokrasi Indonesia. Referensi utama berasal dari teori klasik politik serta data KASN dan laporan Pilkada 2020–2022.

Penulis: Annisa Permata Ali, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Editor: Patricia

LAINNYA