Devany Putra Setia. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD — Perdebatan mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo dalam beberapa waktu terakhir menjelma menjadi salah satu isu politik paling gaduh di ruang publik. Persoalan yang berawal dari keraguan terhadap sebuah dokumen akademik berubah menjadi wacana besar yang mengundang tarik-menarik kepentingan politik, pertarungan narasi, hingga memunculkan pertanyaan mendasar mengenai kualitas demokrasi dan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana isu yang tampak privat dapat berkembang menjadi problem sosial yang luas.
Isu ini mencuat setelah muncul kritik dari sejumlah pihak yang mempertanyakan validitas ijazah yang digunakan Jokowi saat mendaftarkan diri sebagai calon presiden. Pemerintah serta universitas terkait sudah berulang kali menegaskan keaslian dokumen tersebut. Namun, sebagian masyarakat yang terpapar narasi di media sosial tetap meragukannya. Alhasil, polemik ini tidak lagi berdiri sebagai perdebatan teknis mengenai dokumen pendidikan, melainkan berubah menjadi simbol perpecahan dan ketidakpercayaan di tingkat publik.
Dampak paling mencolok dari kontroversi ini adalah menguatnya polarisasi sosial. Publik terbelah menjadi dua kubu: satu kubu bersikukuh bahwa persoalan ijazah adalah skandal politik yang patut diusut, sementara kubu lainnya menganggapnya sebagai tuduhan tak berdasar yang sengaja digerakkan untuk menjatuhkan reputasi presiden. Polarisasi semacam ini bukan hal baru dalam politik Indonesia, namun isu ijazah memperdalam jarak antarkelompok sekaligus mempersempit ruang dialog rasional.
Polarisasi ini menunjukkan bagaimana opini publik mudah digiring ke dalam pertentangan emosional, terutama ketika suatu isu dibingkai secara politis dan diekspos tanpa henti di media sosial.
Polemik ijazah juga berdampak langsung pada kredibilitas institusi publik, khususnya perguruan tinggi dan lembaga penegak hukum. Jika ijazah seorang presiden saja dapat diragukan secara massal, maka mudah dipahami bila masyarakat mulai mempertanyakan integritas sistem verifikasi akademik dan prosedur administrasi negara secara keseluruhan.
Universitas yang mengeluarkan ijazah tersebut ikut terseret dalam sorotan. Tuntutan agar kampus membuka dokumen, menghadirkan dosen, atau memaparkan arsip secara publik menunjukkan bahwa persoalan ini telah menggerus kepercayaan masyarakat terhadap otoritas akademik. Pada saat yang sama, institusi penegak hukum dianggap tidak cukup tegas dalam meredakan polemik, sehingga ketidakpastian publik semakin membesar.
Media sosial berperan besar dalam memperuncing persoalan. Twitter, Facebook, hingga TikTok menjadi arena di mana narasi bersaing tanpa kendali. Konten yang belum diverifikasi—mulai dari cuplikan video, foto lama, hingga opini yang dibungkus seolah fakta—beredar cepat dan dipercaya sebagian masyarakat.
Dalam konteks ini, muncul fenomena nasionalisme banal, di mana kritik terhadap pemimpin sering dipersepsikan sebagai serangan terhadap negara, sementara pembelaan terhadap pemimpin dianggap sebagai sikap paling patriotik. Akibatnya, diskusi substantif semakin terpinggirkan oleh loyalitas politik yang impulsif.
Isu ijazah ini juga dimanfaatkan oleh kelompok politik tertentu sebagai bahan bakar populisme. Dengan mengangkat tema yang emosional dan mudah menggugah rasa curiga masyarakat, sebagian politisi menggunakan isu ini sebagai strategi efektif untuk mencuri perhatian publik. Ketidakpuasan yang sudah menumpuk terhadap kebijakan pemerintah menjadi ladang subur untuk memanen dukungan melalui retorika yang menyederhanakan masalah.
Dalam atmosfer seperti ini, argumen berbasis data sering kalah oleh narasi yang menimbulkan kemarahan atau kecurigaan.
Kontroversi ini memperlihatkan betapa cepatnya hoaks menyebar dalam masyarakat. Kurangnya literasi digital membuat sebagian publik menerima informasi tanpa verifikasi, bahkan ketika informasi tersebut bersifat jelas manipulatif. Akibatnya, ruang publik dibanjiri opini tak berdasar, yang pada akhirnya menghambat kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis dan mengambil sikap rasional.
Di tengah kabut informasi, media massa seharusnya berfungsi sebagai penjaga akurasi. Namun, sebagian media justru terjebak dalam pemberitaan sensasional yang memperkeruh keadaan. Alih-alih meredakan ketegangan, beberapa media memilih mengejar klik dan rating, yang pada akhirnya memperkuat bias publik.
Akademisi pun memiliki peran strategis. Dengan pendekatan riset dan argumentasi ilmiah, para ahli dapat membantu menempatkan isu ini dalam perspektif yang lebih luas: bagaimana demokrasi harus dijalankan, bagaimana transparansi dijamin, serta bagaimana institusi publik harus bertanggung jawab atas kinerjanya.
Jika ditangani dengan keterbukaan, kedewasaan politik, dan pemikiran kritis, polemik ijazah Jokowi dapat menjadi momentum reflektif bagi bangsa. Ia menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak berhenti pada pesta pemilu atau prosedur formal, melainkan menuntut partisipasi publik yang cerdas dan berani mengawal kebenaran.
Masyarakat yang kuat bukanlah masyarakat yang menutup mata terhadap kekurangan, tetapi masyarakat yang mampu memisahkan fakta dari manipulasi, serta menjadikan perdebatan publik sebagai jalan menuju perbaikan. Di sinilah kualitas demokrasi Indonesia diuji sekaligus diperkuat.
Penulis: Devany Putra Setia
Mahasiswa Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)