OPINI | TD – Setiap manusia sering kali tidak konsisten dalam persiapan yang seharusnya dibawa pulang ke akhirat. Persiapan ini seharusnya dituangkan dalam visi dan misi kehidupan kita, sebagai bekal menuju kehidupan setelah mati. Jika kita mau merenungkan perjalanan hidup kita, kita akan dihadapkan pada pertanggungjawaban di hadapan Pengadil yang Maha Adil. Dalam setiap langkah yang kita ambil, kita perlu menyadari bahwa setiap tindakan, baik atau buruk, akan dicatat dan dipertanggungjawabkan.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran (3:185), “Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian.” Kematian adalah hal yang pasti akan datang, baik cepat maupun lambat, tanpa memandang status sosial, pangkat, atau jabatan. Akhir kehidupan manusia biasanya mencerminkan kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Ketika kematian menghampiri, kekhawatiran dan ketakutan akan terlihat, dimulai dari proses pengurusan jenazah oleh keluarga, dimandikan, dikafani, hingga berpindah ke alam kubur. Proses ini adalah pengingat bagi kita bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara.
Semua harta benda yang kita miliki tidak akan dibawa ke dalam kubur, kecuali amal kebaikan yang kita lakukan. Setelah kita meninggal, dunia tidak lagi mengabsen nama kita. Kehidupan terus berlanjut, dan nama kita perlahan-lahan mulai terlupakan oleh keluarga, saudara, dan sahabat. Di sinilah pentingnya bekal yang kita tinggalkan: kebaikan yang kita lakukan selama hidup di dunia. Harta yang kita kumpulkan tidak akan memberikan manfaat di akhirat, kecuali jika kita menggunakannya untuk tujuan yang diridhoi Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda, “Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang selalu berdoa baginya.” Hadits ini menjelaskan bahwa setelah seseorang meninggal, semua amalnya terputus, dan dia tidak dapat menambah pahala yang diperoleh selama hidup. Namun, tiga hal yang disebutkan dalam hadits tersebut akan terus mengalirkan pahala, karena pelakunya adalah penyebab terjadinya ketiga hal tersebut. Ini menunjukkan betapa pentingnya kita untuk berinvestasi dalam amal yang akan memberikan manfaat jangka panjang, baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang lain.
Ketika kita memiliki harta yang menjadi warisan untuk keturunan, kita harus ingat bahwa harta tersebut akan diperhitungkan oleh Allah SWT, baik cara mendapatkannya maupun cara mengeluarkannya. Ini menjadi pelajaran bagi kita semua: nama dari jasad yang telah wafat akan hilang. Manusia yang meninggal akan dipanggil bukan dengan namanya, tetapi sebagai jasad. Saat disholatkan, ia disebut jenazah, dan ketika dimasukkan ke liang lahat, ia disebut mayit. Semua status sosial, jabatan, dan ketenaran semasa hidup tidak ada artinya lagi. Kesedihan yang dirasakan oleh orang-orang terdekat hanya bersifat sementara.

Kita dapat melihat beberapa hal berikut:
1. Kawan-kawan di sekitar kita mungkin akan merasa sedih dan kasihan, tetapi hanya untuk beberapa hari.
2. Saudara dan handai taulan akan meneteskan air mata dan merasakan kehilangan, namun hal itu hanya sesaat, dan kemudian akan terlupakan.
3. Pihak keluarga akan terus menangis dan bersedih, tetapi semua itu akan menjadi kenangan.
Walaupun telah pergi, hanya amal kebaikan yang akan terus dikenang oleh keluarga, masyarakat, dan lingkungan kerja. Sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahf (18:10), “Barang siapa yang mengharapkan bertemu dengan Tuhannya, maka hendaklah ia melakukan amal sholeh.” Ini adalah panggilan bagi kita untuk tidak hanya hidup untuk diri sendiri, tetapi juga untuk memberikan manfaat bagi orang lain.
Imam Syafi’i, seorang ulama terkenal dari empat mazhab, pernah berpesan, “Jadikanlah akhirat di hatimu dan dunia di tanganmu.” Pesan ini mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam kesenangan duniawi yang sementara, tetapi untuk selalu mengingat tujuan akhir kita. Semoga tulisan singkat ini menjadi nasihat bagi penulis dan pembaca semua bahwa kehidupan ini hanya sementara. Oleh karena itu, persiapkanlah bekal sebaik-baiknya untuk pulang menuju akhirat. Mari kita berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik, melakukan amal kebaikan, dan meninggalkan jejak positif di dunia ini. Wallahu A’lam bishawwab.
Penulis: Dr. Zulkifli, MA. Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Tangerang dan UIN Jakarta. (*)