Pergantian Menteri Keuangan 2025: Dari Sri Mulyani ke Purbaya, Pergeseran Mazhab Ekonomi?

waktu baca 3 minutes
Minggu, 5 Okt 2025 14:01 0 Nazwa

OPINI | TD — Pergantian Menteri Keuangan pada 2025 dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini sekadar rotasi jabatan birokrasi, ataukah benar mencerminkan pergeseran “mazhab” ekonomi Indonesia? Pertanyaan ini wajar, sebab posisi Menteri Keuangan selalu menjadi sorotan publik. Ia bukan hanya pengelola angka-angka fiskal, tetapi juga penentu arah kebijakan ekonomi yang berimbas langsung pada stabilitas harga, subsidi, hingga kesejahteraan rakyat.

Sri Mulyani: Stabilitas dan Disiplin Pasar

Sri Mulyani selama ini identik dengan pendekatan teknokratis-liberal. Sebagai mantan pejabat Bank Dunia, ia menekankan disiplin fiskal, transparansi, dan keterbukaan terhadap pasar global.

Ciri khas “mazhab” Sri Mulyani antara lain:

  • Disiplin fiskal. Defisit dijaga ketat agar utang tetap dalam batas aman.
  • Stabilitas makroekonomi. Inflasi rendah, kurs stabil, dan utang berkelanjutan dianggap syarat pembangunan.
  • Keterbukaan pasar. Transparansi dan reformasi birokrasi untuk menarik investasi asing.
  • Standar global. Banyak kebijakannya selaras dengan resep IMF dan Bank Dunia.

Tak heran, pendekatan ini sering disebut “mazhab neoliberal”—pro-pasar, ramah investasi asing, dengan peran swasta yang besar.

Purbaya: Nasionalisme Ekonomi dan Peran Negara

Sebaliknya, Purbaya Yudhi Sadewa membawa warna yang berbeda. Ia lebih dekat dengan gagasan nasionalisme ekonomi dan berorientasi pada penguatan sektor domestik.

Paradigma Purbaya dapat dilihat dari:

  • Peran negara lebih dominan. Negara berinvestasi di sektor strategis dan industri dalam negeri.
  • Kebijakan pro-rakyat. Lebih berani pada subsidi, proteksi UMKM, dan daya beli masyarakat.
  • Nasionalisme ekonomi. Hilirisasi, kemandirian pangan, dan pengurangan impor menjadi fokus.
  • APBN sebagai motor pertumbuhan. Belanja negara digunakan lebih agresif untuk menggerakkan ekonomi rakyat.

Pendekatan ini dianggap lebih populis, sekaligus selaras dengan agenda politik Prabowo yang menekankan kedaulatan pangan, hilirisasi, dan kemandirian ekonomi.

Pergantian Mazhab atau Pergeseran Aksen?

Apakah pergantian Menkeu ini berarti pergeseran mazhab ekonomi? Menurut saya, jawabannya tidak sesederhana itu. Indonesia tetap menganut sistem ekonomi campuran: negara mengelola sektor strategis, sementara mekanisme pasar tetap diberi ruang.

Yang berubah adalah penekanan kebijakan:

– Di era Sri Mulyani, stabilitas fiskal dan kredibilitas pasar internasional menjadi prioritas.

– Di era Purbaya, peran fiskal lebih ditekankan sebagai motor pertumbuhan domestik dan kemandirian ekonomi.

Artinya, bukan pergantian ideologi total, melainkan pergeseran aksen dalam mengelola ekonomi.

Implikasi Politik dan Dampak ke Publik

Pergantian Menkeu juga sarat implikasi politik. Menteri Keuangan bukan sekadar teknokrat, melainkan aktor strategis yang menentukan alokasi anggaran, arah investasi, dan relasi dengan lembaga keuangan internasional.

Bagi investor, pergantian ini bisa menimbulkan tanda tanya: apakah Indonesia akan tetap disiplin menjaga kredibilitas fiskal, ataukah lebih longgar demi agenda populis? Sementara bagi rakyat, harapannya sederhana: harga bahan pokok stabil, subsidi energi tepat sasaran, lapangan kerja tercipta, dan kesejahteraan lebih merata.

Dengan kata lain, pergantian Menkeu bukan hanya soal angka, tetapi juga soal legitimasi politik.

Penutup: Antara Stabilitas dan Kemandirian

Judul “Pergantian Menteri Keuangan 2025: Dari Sri Mulyani ke Purbaya, Pergeseran Mazhab Ekonomi?” memang provokatif. Namun menurut saya, yang terjadi bukanlah pergantian mazhab ideologi, melainkan pergeseran aksen kebijakan.

Jika Sri Mulyani mewakili stabilitas fiskal dan keterbukaan global, maka Purbaya hadir dengan semangat kemandirian dan keberpihakan domestik. Keduanya bukan saling meniadakan, melainkan mencerminkan fleksibilitas ekonomi-politik Indonesia yang menyesuaikan diri dengan tantangan zaman.

Pertanyaan kuncinya: apakah Purbaya mampu menjaga keseimbangan antara stabilitas fiskal yang diwariskan Sri Mulyani dengan agenda kemandirian ekonomi yang ia bawa? Rakyat menunggu jawabannya, bukan di atas podium, melainkan di meja makan—pada harga beras, listrik, dan peluang kerja yang nyata.

Penulis: Oleh Afina Qurota Aini, Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)

LAINNYA