Perempuan Banten di Panggung Politik: Antara Simbol dan Perjuangan Nyata

waktu baca 3 minutes
Minggu, 26 Okt 2025 12:07 0 Nazwa

OPINI | TD – Di atas kertas, politik Indonesia tampak semakin ramah terhadap perempuan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 bahkan menetapkan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam politik. Namun, ketika kita melihat ke lapangan—khususnya di Provinsi Banten—realitasnya jauh lebih kompleks. Representasi perempuan masih berjalan tersendat, terhambat oleh budaya patriarki, dinasti politik, dan pragmatisme partai.

Di DPRD Provinsi Banten periode 2019–2024, misalnya, perempuan hanya menempati sekitar 17,65% kursi. Angka ini bukan hanya jauh dari target nasional, tapi juga menandakan bahwa perjuangan perempuan untuk mendapatkan tempat dalam politik belum benar-benar tuntas. Ironisnya, sebagian perempuan yang berhasil duduk di kursi kekuasaan justru datang dari keluarga politik yang sudah mapan.

Pertanyaannya: apakah kehadiran perempuan di politik Banten mencerminkan kemajuan kesetaraan, atau hanya sekadar “pelengkap” dari sistem yang masih dikuasai elit lama?

Kuota Bukan Solusi, Jika Budaya Tak Berubah

Banyak yang mengira bahwa aturan kuota adalah solusi cepat untuk meningkatkan peran perempuan. Namun, tanpa perubahan budaya politik, kuota justru berisiko menjadi formalitas. Di banyak partai, nama-nama perempuan dimasukkan ke daftar calon hanya untuk memenuhi syarat administratif, bukan karena diyakini mampu menjadi pemimpin.

Partai politik juga jarang memberikan pelatihan dan dukungan yang cukup bagi kader perempuannya. Alih-alih mempersiapkan mereka untuk berkompetisi secara setara, perempuan sering kali ditempatkan di posisi “aman” atau tidak strategis. Tidak heran, banyak dari mereka kesulitan bertahan atau bahkan tersingkir di pemilihan berikutnya.

Budaya patriarki memperparah keadaan. Politik masih dianggap “urusan laki-laki,” sementara perempuan yang tampil di ruang publik sering kali dinilai berdasarkan citra pribadi, bukan gagasan. Akibatnya, perempuan yang berani bersuara kerap dipandang “melawan kodrat,” padahal justru sedang memperjuangkan ruang setara bagi generasinya.

Perempuan, Antara Idealisme dan Realitas Politik

Meski banyak hambatan, sejumlah perempuan di Banten tetap memilih terjun ke dunia politik dengan semangat perubahan. Sebagian ingin memperjuangkan isu perempuan dan anak, sebagian lain ingin membawa nilai-nilai empati dan keadilan dalam kebijakan publik.

Namun, realitas politik tidak selalu bersahabat. Banyak politisi perempuan yang akhirnya terjebak dalam arus pragmatisme partai: fokus pada elektabilitas, bukan perjuangan ideologis. Situasi ini menunjukkan bahwa perjuangan kesetaraan gender di politik tidak hanya soal jumlah, tapi juga soal substansi: apakah suara perempuan benar-benar diwakili dalam kebijakan?

Langkah Rekonstruktif: Dari Representasi ke Transformasi

Perempuan Banten sebenarnya memiliki potensi besar untuk mengubah arah politik lokal. Mereka terbukti mampu menjadi pemimpin yang peka terhadap isu sosial—dari kesehatan ibu dan anak, pendidikan yang setara, hingga perlindungan hukum bagi kelompok rentan. Tapi potensi itu perlu didukung oleh sistem yang lebih adil.

Ada tiga langkah yang bisa dilakukan untuk memperkuat peran perempuan di politik praktis:

1. Membangun kesadaran representatif. Perempuan politisi perlu menyadari bahwa kehadiran mereka bukan sekadar untuk memenuhi kuota, melainkan untuk membawa perspektif baru dalam pengambilan keputusan.

2. Dukungan nyata dari partai. Partai harus berhenti memperlakukan kader perempuan sebagai “pelengkap” dan mulai membuka ruang bagi mereka di posisi strategis.

3. Pendidikan politik yang sensitif gender. Masyarakat perlu diedukasi agar memahami bahwa kepemimpinan perempuan bukan ancaman, melainkan aset demokrasi.

Kesimpulan: Perempuan Bukan Pelengkap Demokrasi

Keterlibatan perempuan dalam politik praktis di Banten adalah kisah tentang keberanian, tetapi juga tentang tantangan yang belum selesai. Di satu sisi, mereka telah berhasil menembus tembok kekuasaan yang maskulin. Di sisi lain, mereka masih harus berjuang agar kehadirannya membawa perubahan nyata, bukan sekadar simbol formalitas.

Representasi perempuan harus dimaknai lebih dari sekadar angka. Ia adalah perjuangan panjang untuk mengubah cara kita memandang kekuasaan—dari milik segelintir orang menjadi ruang bersama bagi semua warga, tanpa memandang jenis kelamin.

Ketika perempuan bisa bicara, memutuskan, dan memimpin tanpa harus “diwariskan” kekuasaan, saat itulah politik di Banten benar-benar mencapai kematangan demokrasi yang sejati.

Penulis: Sri Wulan, Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)

LAINNYA