OPINI | TD – Dalam tatanan global kontemporer yang secara luas diyakini semakin terintegrasi dan didasarkan pada prinsip-prinsip kerja sama multilateral, pecahnya Perang Ukraina pada tahun 2022 telah menjelma menjadi sebuah antitesis yang keras terhadap optimisme sebelumnya mengenai kapasitas institusi global untuk menjaga perdamaian dan stabilitas dunia.
Agresi militer yang dilancarkan oleh Federasi Rusia terhadap Ukraina bukan sekadar manifestasi tindakan kekerasan berskala besar. Melainkan juga sebuah ujian empiris terhadap efektivitas teori politik internasional dalam menganalisis, menjelaskan, dan memandu respons komunitas global terhadap konflik semacam ini. Berbagai paradigma teoritis, mulai dari Realisme, Liberalisme, hingga pendekatan Kritis, telah menjadi instrumen konseptual yang saling berkompetisi dalam upaya menginterpretasikan dinamika kompleks dari konflik ini.
Meski demikian, terlepas dari kerangka teoritis mana pun yang digunakan untuk menganalisisnya, satu observasi yang secara mencolok menonjol adalah ketidakmampuan fundamental institusi global seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya Dewan Keamanan. Serta berbagai rezim internasional lainnya, yang tak mampu secara efektif mencegah pecahnya konflik, meredakan eskalasinya, atau bahkan memfasilitasi penyelesaiannya. Kegagalan ini mengindikasikan adanya disonansi signifikan antara idealisme normatif yang mendasari pembentukan institusi-institusi tersebut dan realitas politik kekuasaan di panggung global.
Oleh karena itu, melalui lensa teori politik internasional, Perang Ukraina secara gamblang merefleksikan adanya krisis struktural yang mendalam dalam sistem tata kelola dunia kontemporer. Konflik ini tidak hanya mengekspos batas-batas kapasitas institusional. Tetapi juga secara fundamental memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai relevansi, otoritas, dan kredibilitas institusi-institusi global dalam menghadapi realitas kekuasaan yang dimainkan oleh negara-negara besar di arena internasional.
Ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat kerangka hukum dan norma yang mapan, keberadaan dan fungsi institusi global sangat rentan terhadap dinamika kekuatan geopolitik dan kepentingan nasional yang bersaing.
Dalam kajian hubungan internasional, Realisme senantiasa menempati posisi sebagai teori dominan yang secara fundamental menempatkan negara sebagai aktor utama yang beroperasi secara rasional. Ini didorong oleh pengejaran kepentingan nasional. Terutama dalam domain keamanan dan kelangsungan hidupnya.
Dari perspektif ini, tindakan invasi Rusia ke Ukraina dapat diinterpretasikan sebagai sebuah langkah strategis yang terukur, dirancang untuk mempertahankan ranah pengaruh atau sphere of influence-nya di kawasan bekas Uni Soviet. Serta untuk secara proaktif mencegah ekspansi lebih lanjut dari Organisasi Pakta Atlantik Utara (NATO) ke arah timur.
Presiden Federasi Rusia, Vladimir Putin, secara eksplisit telah mengartikulasikan kekhawatiran mendalam mengenai perluasan NATO yang ia pandang sebagai ancaman eksistensial terhadap posisi geopolitik Rusia.
Realisme menjelaskan bahwa dalam kondisi anarki internasional, yaitu ketiadaan otoritas supranasional yang mampu menundukkan negara-negara berdaulat, tindakan preventif atau ofensif—seperti invasi yang terjadi—dapat dianggap sebagai instrumen rasional yang sah untuk mempertahankan dan memajukan kepentingan nasional.
Dari sudut pandang realis ini, kegagalan institusi global dalam mencegah atau menyelesaikan konflik bukanlah suatu hal yang mengejutkan. Hal ini dikarenakan institusi-institusi tersebut secara inheren tidak memiliki kekuatan koersif yang memadai untuk secara efektif memaksa negara-negara besar agar patuh terhadap norma-norma internasional yang telah disepakati.
Namun, jika analisis kita digeser ke perspektif Liberalisme, sebuah kerangka teori yang menekankan urgensi institusi internasional, aturan bersama, dan kerja sama multilateral sebagai fondasi bagi terciptanya perdamaian dan stabilitas. Maka konflik ini justru menampilkan gambaran tragis mengenai kegagalan mekanisme yang telah dibangun dan dipelihara selama puluhan tahun.
Teori liberal berkeyakinan teguh bahwa institusi global seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Mahkamah Internasional (ICJ), dan berbagai organisasi regional seperti Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) memiliki kapasitas untuk mencegah konflik melalui diplomasi, mediasi, dan penerapan sanksi kolektif.
Akan tetapi, realitas Perang Ukraina secara brutal menunjukkan bahwa lembaga-lembaga tersebut, dalam praktiknya, gagal total dalam mengantisipasi eskalasi konflik. Dan, bahkan tidak mampu menciptakan tekanan diplomatik yang signifikan dan efektif terhadap Rusia. Penggunaan hak veto Rusia di Dewan Keamanan PBB menjadi penanda yang jelas akan keterbatasan struktural yang melekat dalam sistem internasional saat ini. Di mana negara agresor sekaligus berkedudukan sebagai salah satu penjaga utama aturan global. Keberpihakan yang nyata dan politisasi yang kental dalam mekanisme internasional menjadi rintangan monumental bagi efektivitas kerja sama global dalam merespons konflik bersenjata, mengikis kredibilitas idealisme liberal.
Selanjutnya, pendekatan Konstruktivisme dalam hubungan internasional menawarkan analisis yang lebih nuansatif. Melalui pendalaman aspek identitas, persepsi, dan narasi yang secara fundamental membentuk tindakan suatu negara.
Dalam konteks spesifik Perang Ukraina, narasi sejarah yang dianut, sentimen etnonasionalisme yang kuat, serta perasaan terpinggirkan dari tatanan internasional pasca-Perang Dingin, semuanya memainkan peran krusial dalam pembentukan kebijakan luar negeri Rusia yang agresif.
Identitas nasional Rusia, yang dibangun di atas kejayaan masa lalu yang nostalgis dan trauma geopolitik yang mendalam, turut mendorong Kremlin untuk mengambil langkah-langkah agresif yang kita saksikan. Sayangnya, institusi global tampak gagal dalam memahami dan merespons dinamika naratif yang kompleks ini. Upaya diplomatik yang telah dilakukan terbukti tidak cukup untuk menjembatani jurang pemisah antara persepsi identitas dan kepentingan yang saling bertabrakan antara Rusia, Ukraina, dan negara-negara Barat. Ini mengindikasikan bahwa kegagalan institusi global tidak hanya bersumber dari aspek struktural semata. Tetapi juga dari ketidakmampuan untuk memahami dimensi ideasional dan sosial yang secara inheren membentuk konflik global yang kompleks.
Di sisi lain, pendekatan kritis seperti Marxisme dan teori Postkolonial menganalisis Perang Ukraina dalam kerangka yang lebih luas. Yaitu dominasi sistem kapitalisme global dan ketimpangan kekuasaan yang struktural. Dari perspektif ini, konflik yang terjadi bukan semata-mata persoalan geopolitik antarnegara. Melainkan juga sebuah refleksi dari perebutan pengaruh ekonomi, ideologi, dan hegemoni global yang lebih besar.
Peran negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, dalam memperluas pengaruh politik dan ekonomi di wilayah timur Eropa, dipandang sebagai bagian integral dari proyek dominasi sistem kapitalis global. Rusia, dalam posisi yang secara objektif merasa terpinggirkan dan terancam, merespons dengan agresi sebagai bentuk perlawanan terhadap tatanan internasional yang mereka nilai tidak adil dan tidak inklusif.
Dalam kerangka pemikiran kritis ini, institusi global dipandang sebagai alat yang secara inheren mereproduksi dan melanggengkan struktur kekuasaan yang berpihak pada kepentingan negara-negara dominan. Ketidakmampuan mereka untuk menghentikan konflik justru memperkuat asumsi bahwa sistem internasional beroperasi bukan untuk mewujudkan keadilan global yang universal, melainkan untuk mempertahankan status quo kekuasaan yang telah ada.
Perang Ukraina juga telah secara tegas membuka diskusi yang krusial mengenai efektivitas sanksi internasional sebagai alat kebijakan luar negeri. Meskipun negara-negara Barat secara masif menjatuhkan berbagai sanksi ekonomi terhadap Rusia, dampaknya tidak serta merta secara instan menghentikan agresi militer tersebut.
Bahkan, beberapa negara di Global South secara terang-terangan menolak untuk mengikuti rezim sanksi ini. Alasannya, menjaga netralitas atau memprioritaskan kepentingan ekonomi nasional mereka sendiri. Fenomena ini menunjukkan adanya fragmentasi yang signifikan dalam solidaritas global dan kegagalan institusi internasional dalam membangun konsensus universal yang kuat terhadap norma anti-agresi dan pelanggaran kedaulatan.
Ketika norma-norma internasional gagal ditegakkan secara konsisten dan tanpa pandang bulu, kredibilitas institusi global pun secara tak terhindarkan terkikis. Dalam konteks ini, teori politik internasional dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa hukum dan norma saja tidak cukup kuat untuk membatasi perilaku negara tanpa dukungan kekuatan politik dan kemauan kolektif yang kokoh.
Lebih jauh lagi, Perang Ukraina secara telanjang memperlihatkan betapa mendesaknya kebutuhan akan reformasi substansial terhadap struktur institusi global. Dewan Keamanan PBB, misalnya, telah lama menjadi sasaran kritik pedas karena struktur vetonya yang memungkinkan lima negara adidaya untuk secara sewenang-wenang memblokir keputusan-keputusan penting yang memiliki implikasi global.
Dalam kasus Ukraina, Rusia, sebagai salah satu anggota tetap dengan hak veto, secara langsung menggunakan hak prerogatifnya untuk menghalangi resolusi yang secara tegas mengecam invasinya. Situasi ini menimbulkan dilema moral dan politik yang mendalam. Yaitu bagaimana mungkin sebuah institusi yang secara eksplisit dirancang untuk menjaga perdamaian dunia justru dibelenggu dan dilumpuhkan oleh negara-negara yang terlibat langsung dalam konflik? Di sinilah teori institusionalisme liberal mengalami sebuah paradoks yang menyakitkan. Yakni di mana idealisme kerja sama internasional terhalang secara fundamental oleh kepentingan nasional yang egois dari aktor-aktor utama.
Penegasan kembali akan pentingnya teori politik internasional dalam membaca dinamika konflik global menjadi semakin mendesak dan relevan. Dalam konteks Perang Ukraina, berbagai teori yang telah dibahas di atas tidak hanya berfungsi sebagai alat analisis yang tajam. Tetapi juga sebagai cermin reflektif bagi kegagalan sistemik yang mendalam dalam tata kelola global kontemporer.
Realisme secara tegas mengingatkan kita akan pentingnya kekuatan dan kepentingan nasional yang masih menjadi penentu utama perilaku negara di arena internasional. Liberalisme dengan gamblang menyoroti kerapuhan institusi global yang ternyata tidak memiliki efektivitas yang memadai dalam menghadapi kekuatan besar.
Konstruktivisme mendorong kita untuk lebih jauh memahami narasi dan identitas yang secara fundamental membentuk kebijakan luar negeri suatu negara. Sedangkan pendekatan kritis membuka mata kita terhadap struktur kekuasaan yang tidak adil dan dominatif yang tertanam dalam sistem internasional.
Secara keseluruhan, konflik ini adalah pengingat bahwa teori bukan sekadar abstraksi, melainkan alat vital untuk memahami dan mungkin, suatu hari nanti, memperbaiki kerapuhan tatanan dunia.
Sebagai konklusi, Perang Ukraina melampaui dimensi tragedi kemanusiaan yang telah menyebabkan ribuan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang masif. Ia juga merupakan sebuah refleksi brutal atas kegagalan substansial institusi global dalam mengemban dan melaksanakan mandat mereka secara efektif. Teori politik internasional, dengan segala keragamannya, memang menawarkan berbagai lensa analisis yang esensial untuk memahami akar penyebab dan dinamika kompleks konflik tersebut. Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa teori, tanpa disertai penerapan dan tindakan politik yang konkret serta berani, pada akhirnya akan tetap menjadi sekadar wacana kosong yang tidak relevan dengan realitas.
Oleh karena itu, dunia berada dalam kebutuhan yang mendesak akan sebuah tatanan internasional yang tidak hanya lebih adil dan adaptif. Tetapi juga memiliki kapabilitas nyata untuk merespons tantangan-tantangan kompleks yang melekat pada abad ke-21. Langkah-langkah fundamental yang harus segera diimplementasikan meliputi reformasi mendalam terhadap struktur institusi global, penguatan norma-norma internasional agar memiliki daya ikat dan penegakan yang lebih kuat, serta pengembangan pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap realitas politik, sosial, dan historis negara-negara yang terlibat dalam dinamika global.
Tanpa serangkaian upaya transformatif tersebut, institusi global akan terus mengalami erosi legitimasi. Dan, komunitas internasional akan berisiko tinggi untuk kembali terjerumus ke dalam siklus kekerasan dan ketidakstabilan yang tak berkesudahan.
Penulis: Pasha Restu Brema, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Editor: Patricia