OPINI | TD — Di era informasi saat ini, kita dihadapkan pada fenomena yang sangat mengkhawatirkan: oligarki media. Situasi di mana sekelompok kecil individu menguasai dan mengendalikan saluran informasi ini sudah ada sejak masa Orde Baru dan terus berlanjut hingga kini. Oligarki media tidak hanya mengancam demokrasi yang kita jalani, tetapi juga berpotensi merusak berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial.
Ketika kita melihat banyaknya berita hoaks yang beredar, penting bagi kita untuk bertanya: mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya terletak pada kepentingan pribadi para penguasa media yang lebih mementingkan keuntungan finansial ketimbang kebenaran informasi. Ketidakadilan ini harus disadari oleh masyarakat agar tidak terjebak dalam pusaran disinformasi yang dapat mengganggu proses demokrasi.
Oligarki media dapat dikelola dengan cara yang sangat strategis. Banyak perusahaan media yang berkolaborasi dalam bentuk konglomerasi, di mana perusahaan lama bertransformasi menjadi entitas baru. Mereka tidak hanya mengatur konten berita, tetapi juga mempengaruhi pendanaan iklan dan distribusi informasi.
Hal ini dapat menciptakan kesenjangan dalam keberagaman opini yang tersedia, sehingga masyarakat hanya terpapar pada sudut pandang yang terbatas.
Fenomena ini semakin diperparah dengan kecenderungan masyarakat yang lebih memilih platform media sosial seperti Facebook, Twitter, TikTok, dan Instagram untuk mendapatkan informasi. Kecepatan dan kemudahan dalam mengakses informasi ini sering kali mengaburkan akurasi dan kebenaran.
Oleh karena itu, sebagai pengguna, kita harus lebih bijak dalam menyaring informasi yang kita konsumsi. Pengelola media seharusnya tidak memanfaatkan platform mereka untuk kepentingan pribadi, tetapi harus mendahulukan kepentingan masyarakat.
Konglomerasi media di Indonesia menunjukkan potensi ekonomi yang besar, tetapi kita juga harus waspada. Dalam upaya memperluas jangkauan bisnis mereka, para konglomerat ini bisa berkolaborasi dengan elite politik, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kebijakan publik demi kepentingan mereka sendiri. Hal ini berpotensi mengurangi kualitas demokrasi yang seharusnya melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa meskipun media memberikan kemudahan dalam mendapatkan informasi, oligarki media dapat menimbulkan ketidakadilan sosial dan politik. Semakin banyaknya berita hoaks dan informasi yang menyesatkan menunjukkan bahwa kita perlu meningkatkan kesadaran kritis terhadap konten yang kita terima. Algoritma media sosial yang menyajikan konten sesuai preferensi pengguna, sering kali memperparah masalah ini dengan mengurangi paparan pada pandangan yang berbeda.
Oleh karena itu, penulis menyerukan kepada seluruh masyarakat, terkhusus kepada generasi milenial, generasi Z dan mahasiswa, untuk lebih bijak dan kritis dalam menyikapi informasi. Kita harus menjadi konsumen informasi yang cerdas, mampu menyaring berita sebelum mempercayainya.
Ini adalah langkah penting untuk memperkuat demokrasi kita dan memastikan bahwa suara masyarakat tidak tereduksi oleh kepentingan segelintir orang.
Mari kita bersama-sama membangun kesadaran akan pentingnya kebenaran informasi dan menjaga integritas demokrasi kita.
Penulis : Eva Nopia, mahasiswa pengantar ilmu politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta. (*)