OPINI | TD – Bagi negara yang menganut paham demokrasi, hal utama yang memiliki perlindungan hukum adalah kebebasan berpendapat. Tetapi, dalam kehidupan nyata, seringkali terdapat tekanan yang mengancam warga negara ketika mereka mengutarakan pendapat di ruang publik. Hal yang bertolak belakang ini membuktikan bahwa negara belum dapat sepenuhnya menjalankan prinsip demokrasi. Salah satu contohnya adalah pembatasan di ruang publik oleh negara pada unjuk rasa peringatan Hari Buruh atau May Day 2025 ini. Terdapat sejumlah peserta aksi yang mengalami penangkapan dan dakwaan atas tindakan yang tidak mereka lakukan. Inilah yang menandakan bahwa demokrasi telah tercoreng di Indonesia.
Dalam sistem demokrasi, setiap individu memiliki hak untuk terlibat secara aktif, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengawasi kebijakan pemerintah. Pandangan ini merupakan pemikiran John L. Esposito, seorang akademisi asal Amerika dan juga profesor dalam studi Timur Tengah dan agama, serta ahli dalam kajian Islam. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa rakyat berhak mengkritisi atau bahkan menolak kebijakan pemerintah, terutama jika kebijakan tersebut hanya menguntungkan segelintir elit. Hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi, di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Indonesia sebagai negara demokrasi, mengakui prinsip ini. Sebagaimana yang dikatakan Abraham Lincoln (dalam Malik et al., 2021), demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan demikian, kebebasan menyampaikan pendapat menjadi bagian esensial dari sistem demokrasi, yang juga tercermin dalam konstitusi Indonesia. Namun, kenyataannya di lapangan sering kali berbeda, di mana kebebasan berpendapat masih menghadapi berbagai tantangan.
Menurut teori ruang publik milik Jürgen Habermas (dalam Prasetyo, 2012), masyarakat seharusnya memiliki kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya secara terbuka. Dalam The Structural Transformation of the Public Sphere, Habermas menggambarkan ruang publik sebagai tempat di mana warga negara dapat mengungkapkan pendapat mereka secara bebas dan rasional, serta terlibat dalam pertukaran ide yang bertujuan mencapai pemahaman bersama. Habermas berpendapat bahwa demokrasi sejati tidak hanya bergantung pada mekanisme pemilu atau keputusan mayoritas, melainkan pada proses deliberasi yang terbuka dan inklusif.
Penting untuk menjadi perhatian, bahwa dalam ruang publik yang sehat, diskusi politik harus bebas dari pengaruh kepentingan komersial atau kekuasaan otoriter. Dengan demikian, kebebasan berpendapat adalah fondasi yang memungkinkan masyarakat untuk berkolaborasi dalam pembuatan keputusan politik yang menguntungkan semua pihak.
Di Indonesia, hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum memiliki perlindungan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk mengungkapkan pikiran, baik secara lisan maupun tulisan, dengan bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Namun, meskipun hukum menjamin hak ini, kenyataan di lapangan sering kali menunjukkan adanya pembatasan. Demonstrasi yang seharusnya menjadi sarana bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat seringkali berhadapan dengan hambatan berupa intimidasi, kekerasan, bahkan penangkapan oleh aparat.
Salah satu contoh terbaru adalah peristiwa yang terjadi saat peringatan Hari Buruh (May Day) tahun ini, di mana terdapat penangkapan sejumlah peserta aksi dan bahkan penetapan mereka sebagai tersangka.
Salah satu korban dari penangkapan tersebut adalah Cho Yong Gi, seorang mahasiswa filsafat dari Universitas Indonesia yang tergabung dalam tim medis aksi Hari Buruh. Cho Yong Gi bersama tim medis lainnya, saat hendak pulang dan melintasi area depan SPARK di bawah flyover, mendengar suara seorang warga yang mengatakan ada seseorang mengalami luka di kepala dan membutuhkan pertolongan. Lalu, mereka menyebrang dan ternyata di sana mereka melihat ada mungkin 4-5 orang yang sudah jongkok, ada yang berdarah, ada yang bibirnya sobek, dan macam-macam. Terus Cho Yong Gi dan teman-teman medis lainnya tawarkan bantuan.
Namun tiba-tiba, seseorang mendorong Cho Yong Gi dan membuatnya jatuh. Ia kemudian dituduh sebagai orang yang melempar dalam aksi. Ia langsung ditangkap, dipiting, dibanting, diinjak di bagian leher, dan dipukuli secara brutal. Kak Oji, rekannya, berusaha melindungi dan menghentikan kekerasan, namun malah ikut menjadi korban pemukulan.
Barang-barang mereka digeledah dan disita yang didalamnya berupa perlengkapan medis seperti kasa, oksigen, dan baju ganti. Cho Yong Gi bersama rekannya kemudian diangkut secara paksa ke dalam mobil tahanan, meskipun tidak ditemukan bukti yang menguatkan tuduhan terhadapnya.
Padahal sudah jelas bahwa Cho Yong Gi dan teman-temannya merupakan bagian dari tim medis. Namun, mereka justru mengalami intimidasi tanpa bukti yang jelas. Saat penggeledahan pun, tidak ada temuan barang-barang yang mencurigakan, hanya perlengkapan medis, air minum, dan baju ganti. Apakah seperti ini potret demonstrasi di negara yang mengklaim menganut sistem demokrasi?
Peringatan Hari Buruh tahun ini kembali memperlihatkan adanya ketegangan antara kebebasan berpendapat dan tindakan aparat keamanan. Para demonstran yang berusaha menyampaikan protes terhadap kebijakan pemerintah justru menghadapi tindakan keras, termasuk penggunaan gas air mata dan penangkapan yang tidak selalu memiliki bukti yang jelas. Banyak dari mereka yang mengalami kekerasan fisik dari aparat, sebagaimana dapat terlihat dalam berbagai unggahan media sosial.
Penting untuk menjadi catatan, bahwa dalam konteks ini, hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum seharusnya terlindungi dan tidak bisa mengalami pembatasan secara sepihak. Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 , yang mengatur tentang hak untuk berpendapat di muka umum, menegaskan bahwa setiap warga negara berhak untuk menyuarakan pendapat, baik secara individu maupun dalam kelompok. Selain itu, mereka juga berhak mendapatkan perlindungan hukum ketika melakukan demonstrasi.
Dalam negara demokrasi yang sehat, kritik bukanlah ancaman, melainkan bagian dari proses pengambilan keputusan yang inklusif. Oleh karena itu, penghormatan terhadap hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat, baik secara langsung dalam bentuk demonstrasi maupun melalui saluran lain, harus terjaga. Pemerintah dan aparat kepolisian seharusnya berperan sebagai pelindung kebebasan sipil, bukan sebagai pihak yang membungkamnya. Demokrasi sejati bukan hanya tentang mekanisme pemilu, tetapi juga tentang kebebasan berbicara dan partisipasi aktif dalam kehidupan politik. Kebebasan berpendapat bukan hanya hak yang memiliki jaminan dalam hukum, tetapi juga cermin kedewasaan berdemokrasi. Jika hak ini mengalami pembatasan di ruang publik, maka bukan hanya kebebasan individu yang terancam, tetapi juga masa depan demokrasi itu sendiri.
Penulis: Nurhaeni, Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Editor: Patricia
Referensi
Malik, G. A., Sandi, M., Pratama, P., & Ziyad, M. (2021). Penerapan Demokrasi Berkeadaban dalam Kebudayaan dan Tradisi Suku Bugis. Jurnal Kewarganegaraan, 5(2), 701–707.