Paylater: Kemudahan Semu di Balik Utang Digital

waktu baca 3 minutes
Jumat, 19 Des 2025 22:29 0 Nazwa

OPINI | TD — Fenomena penggunaan layanan paylater kini menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat—mulai dari pelajar, mahasiswa, pekerja, hingga ibu rumah tangga. Layanan ini hadir sebagai solusi cepat atas kebutuhan finansial sehari-hari, seiring dengan gaya hidup digital yang menuntut kecepatan dan kepraktisan. Dengan paylater, masyarakat dapat membeli barang atau jasa tanpa harus membayar secara langsung. Pada permukaannya, sistem ini tampak membantu. Namun, di balik kemudahan tersebut tersimpan konsekuensi yang kerap luput dari kesadaran pengguna.

Dalam lanskap ekonomi digital yang terus berkembang, paylater merupakan bentuk adaptasi teknologi terhadap kebutuhan finansial masyarakat modern. Akan tetapi, kemudahan akses, persetujuan limit yang instan, serta minimnya hambatan administratif sering kali membuat pengguna lupa bahwa paylater pada dasarnya adalah utang. Di titik inilah muncul pertanyaan krusial: apakah paylater benar-benar mempermudah kehidupan finansial, atau justru menghadirkan ancaman baru bagi stabilitas ekonomi masyarakat?

Tidak dapat dimungkiri, paylater kerap dipromosikan sebagai instrumen keuangan yang menawarkan fleksibilitas. Proses pendaftaran yang sederhana, persetujuan cepat, dan kemudahan transaksi membuat layanan ini terasa ramah bagi siapa saja. Bagi sebagian orang, terutama saat menghadapi kebutuhan mendesak, paylater menjadi penolong sementara. Namun, para ahli mengingatkan bahwa kemudahan semacam ini harus disikapi dengan kehati-hatian yang tinggi.

Ekonom Universitas Indonesia, Bhima Yudhistira, menilai bahwa masifnya penggunaan paylater berpotensi membentuk budaya konsumsi baru yang tidak sehat. Menurutnya, paylater kerap mendorong masyarakat untuk berutang tanpa perhitungan matang. Banyak pengguna tergoda membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan, semata-mata karena tersedia opsi “bayar nanti”. Pola konsumsi semacam ini, jika dibiarkan, dapat melemahkan ketahanan finansial individu dalam jangka panjang.

Di sisi lain, penyedia layanan finansial digital memiliki pandangan yang berbeda. Head of Public Policy salah satu perusahaan fintech, Mariana R., berpendapat bahwa paylater dapat menjadi alat pengelolaan arus kas yang efektif jika digunakan secara bertanggung jawab. Ia menegaskan bahwa paylater bukan sekadar alat konsumsi, melainkan jembatan keuangan yang membantu masyarakat mengatur pengeluaran, asalkan disesuaikan dengan kemampuan bayar.

Sikap lebih berhati-hati justru ditunjukkan oleh lembaga pengawas. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai bahwa pertumbuhan layanan paylater harus diimbangi dengan peningkatan literasi keuangan masyarakat. Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot, menyoroti rendahnya pemahaman pengguna terhadap bunga, denda, dan konsekuensi keterlambatan pembayaran. Banyak masyarakat baru menyadari beratnya beban finansial ketika tagihan mulai menumpuk.

Dampak paylater tidak berhenti pada aspek ekonomi semata, tetapi juga merambah ranah psikologis. Psikolog klinis dari HIMPSI, Poppy Amalia, mengungkapkan bahwa utang digital dapat memicu tekanan mental dan kecemasan. Perasaan dikejar tagihan, terutama ketika kemampuan bayar terbatas, kerap menimbulkan stres berkepanjangan. Kondisi ini menunjukkan bahwa paylater bukan hanya soal transaksi, melainkan juga menyangkut kesehatan mental penggunanya.

Kompleksitas persoalan semakin meningkat ketika paylater digunakan oleh remaja atau mahasiswa yang belum memiliki penghasilan tetap. Limit paylater kerap dipersepsikan sebagai “uang tambahan”, padahal sejatinya merupakan utang berbunga. Tanpa pendampingan dan pemahaman yang memadai, kelompok ini berisiko terjebak dalam pola konsumsi impulsif sejak dini.

Pada akhirnya, paylater merupakan inovasi finansial yang membawa dua sisi sekaligus: manfaat dan risiko. Ia dapat menjadi alat bantu dalam mengelola kebutuhan keuangan, tetapi juga berpotensi menjadi jebakan utang jika digunakan tanpa perencanaan. Oleh karena itu, keberadaan paylater menuntut tiga hal utama: literasi keuangan yang memadai, regulasi yang tegas, dan sikap konsumsi yang bijak.

Paylater bukanlah ancaman pada dirinya sendiri. Ancaman sesungguhnya muncul ketika masyarakat menyamakan batas limit dengan kemampuan finansial. Padahal, di balik setiap kemudahan, terdapat tanggung jawab yang harus dikelola dengan disiplin dan kesadaran penuh.

Penulis: Anggi
Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, UIN Sultan Maulana Hasanuddin. (*)

LAINNYA