OPINI | TD – Korupsi telah menjadi masalah kronis di Indonesia. Budaya negatif yang berakar pada keserakahan ini merusak tatanan sosial dan menghambat kemajuan ekonomi. Di balik praktik korupsi yang merajalela, terdapat dua istilah yang sering muncul: ‘patronase’ dan ‘klientelisme’. Keduanya tidak hanya menciptakan ketidakadilan. Tetapi juga menjadi akar dari berbagai praktik korupsi yang menggerogoti negara.
Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih dalam mengenai patronase dan klientelisme, dampaknya terhadap masyarakat, serta langkah-langkah menuju perbaikan.
Patronase adalah sistem di mana politisi memberikan imbalan kepada pemilih untuk mendapatkan dukungan mereka. Dalam praktiknya, politisi sering kali membagikan bantuan sosial, uang, atau proyek pembangunan menjelang pemilu. Meskipun tampak positif, patronase berfungsi untuk membangun ketergantungan masyarakat pada politisi, mengabaikan prinsip keadilan dan kepentingan kolektif.
Pada pemilu legislatif 2019, kita menyaksikan banyak calon anggota legislatif yang membagikan sembako dan uang tunai kepada warga. Meskipun tindakan ini terlihat sebagai upaya untuk membantu masyarakat, banyak yang menyadari bahwa ini adalah strategi untuk meraih suara. Ketika politikus lebih fokus pada imbalan jangka pendek, mereka mengabaikan tanggung jawab untuk menciptakan kebijakan yang berkelanjutan. Hal ini memperkuat budaya korupsi, di mana politisi merasa berhak untuk menggunakan dana publik demi kepentingan pribadi.
Dampak jangka panjang dari praktik ini sangat merugikan. Masyarakat yang seharusnya menjadi pemilih yang berdaya, justru terjebak dalam siklus ketergantungan. Mereka lebih memilih untuk menerima bantuan sesaat daripada memperjuangkan hak mereka untuk mendapatkan kebijakan yang lebih baik. Ini menciptakan budaya di mana suara rakyat tidak dihargai, dan kualitas demokrasi semakin menurun.
Klientelisme adalah hubungan timbal balik antara pemilih dan politisi, di mana pemilih memberikan suara sebagai imbalan atas berbagai keuntungan. Praktik ini merusak integritas sistem demokrasi, karena pemilih tidak lagi membuat keputusan berdasarkan visi dan misi, tetapi berdasarkan imbalan yang dijanjikan.
Salah satu contoh nyata dari klientelisme terjadi dalam proyek infrastruktur di berbagai daerah. Politisi sering kali menggunakan proyek-proyek ini untuk mendapatkan dukungan pemilih. Namun, proyek yang dilaksanakan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lebih menguntungkan kontraktor dekat mereka. Misalnya, proyek pembangunan jalan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan dan kebutuhan transportasi lokal. Banyak proyek ini dibiayai dengan dana publik, tetapi hasilnya sering kali tidak optimal, menciptakan kerugian bagi negara.
Proyek infrastruktur yang tidak efektif ini juga dapat dilihat dalam konteks korupsi yang melibatkan pengeluaran dana yang tidak transparan. Ketika pengawasan lemah, ada peluang besar bagi politisi dan kontraktor untuk melakukan korupsi. Biaya proyek sering kali membengkak, dan hasil akhir tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Akibatnya, masyarakat yang seharusnya mendapatkan manfaat dari proyek ini justru menderita akibat infrastruktur yang buruk dan tidak memadai.
Dampak dari patronase dan klientelisme sangat merugikan masyarakat. Korupsi yang terjadi akibat praktik ini mengakibatkan dana publik terbuang sia-sia dan tidak dapat digunakan untuk pembangunan yang lebih bermanfaat. Infrastruktur yang buruk, layanan kesehatan yang terbatas, dan pendidikan yang tidak memadai adalah beberapa konsekuensi dari sistem yang korup.
Masyarakat yang seharusnya mendapatkan manfaat dari anggaran publik justru merasakan dampak negatif. Misalnya, dalam sektor kesehatan, rumah sakit kekurangan dana dan sumber daya, sementara masyarakat tidak mendapatkan layanan yang memadai. Begitu pula dalam pendidikan, di mana fasilitas yang buruk menghambat proses belajar mengajar. Inilah asal dari terciptanya generasi yang terpinggirkan, yang pada gilirannya memperburuk keadaan sosial dan ekonomi negara.
Dalam melihat fenomena ini, kita bisa merujuk pada pemikiran filsuf seperti John Rawls, yang menekankan pentingnya keadilan sebagai prinsip dasar dalam masyarakat. Rawls berargumen bahwa sistem sosial harus dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang paling tidak beruntung. Dalam konteks Indonesia, praktik patronase dan klientelisme jelas bertentangan dengan prinsip keadilan ini, karena mereka justru memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin, serta mengabaikan prinsip keadilan distributif.
Filsuf lain, seperti Hannah Arendt, juga menyoroti pentingnya tanggung jawab individu dalam konteks politik. Arendt berpendapat bahwa partisipasi aktif dalam urusan publik adalah kewajiban setiap warga negara. Dalam konteks Indonesia, ini berarti bahwa masyarakat perlu lebih aktif terlibat dalam proses politik dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin mereka.
Untuk memerangi korupsi yang berakar dari patronase dan klientelisme, kita perlu melakukan langkah-langkah konkret berupa:
Masyarakat perlu menerima sosialisasi pemahaman tentang hak-hak politik mereka dan dampak dari praktik korupsi. Edukasi ini penting untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya suara yang independen. Program edukasi pemilih harus dimulai dari usia dini, dengan memasukkan materi tentang demokrasi, hak asasi manusia, dan tanggung jawab kewarganegaraan dalam kurikulum pendidikan.
Mendorong transparansi dalam pengeluaran anggaran dan akuntabilitas dalam pelaksanaan proyek pemerintah akan membantu mengurangi praktik korupsi. Masyarakat perlu terlibat dalam proses pengawasan ini, dengan memanfaatkan teknologi untuk melaporkan penyimpangan.
Memperbaiki sistem pemilihan umum agar lebih adil dan transparan, sehingga masyarakat dapat memilih berdasarkan kualitas calon, bukan berdasarkan tawaran imbalan. Reformasi ini harus mencakup pengurangan biaya kampanye, memperkuat regulasi tentang sumbangan politik, dan meningkatkan aksesibilitas bagi calon independen.
Masyarakat harus terlibat dalam proses pengawasan dan pengambilan keputusan, untuk memastikan bahwa kebijakan yang terkait benar-benar mencerminkan kebutuhan mereka. Forum diskusi publik dan keterlibatan dalam organisasi masyarakat sipil dapat menjadi sarana yang efektif untuk memperkuat suara rakyat.
Patronase dan klientelisme adalah akar dari korupsi di Indonesia yang perlu penanggulangan serius. Tanpa adanya perubahan, praktik ini akan terus merusak tatanan sosial dan menghambat kemajuan bangsa. Saatnya kita semua bersatu untuk menuntut keadilan dan transparansi dalam sistem politik, demi masa depan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat. Kita tidak boleh membiarkan korupsi menjadi bagian dari kehidupan kita; mari kita berjuang untuk Indonesia yang bersih, adil, dan sejahtera!
Dengan kesadaran yang meningkat dan tindakan kolektif, kita dapat menciptakan lingkungan politik yang tidak hanya mengedepankan kepentingan individu, tetapi juga memprioritaskan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Mari kita bangun Indonesia yang lebih baik, jauh dari praktik patronase dan klientelisme!
Penulis: Aqiila Nur Faiza, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Editor: Patricia