Panggung Baru Pemberantasan Korupsi: Mengapa Kejagung Kian Menonjol?

waktu baca 4 minutes
Kamis, 9 Okt 2025 19:28 0 Nazwa

OPINI | TD — Di tengah dinamika politik nasional yang kompleks, panggung pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan pergeseran kekuasaan yang signifikan. Jika dulu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi simbol utama perang melawan korupsi, kini sorotan publik lebih banyak tertuju pada Kejaksaan Agung (Kejagung). Artikel ini menggunakan Analisis Kelembagaan Komparatif untuk membedah mengapa Kejagung kian menonjol dibanding KPK maupun Kepolisian (Polri), serta implikasinya bagi sistem politik dan tata kelola negara.

Efektivitas Kejagung dalam mengungkap kasus mega-korupsi bernilai triliunan rupiah bukan hanya meningkatkan legitimasi publik, tetapi juga memperkuat posisi politiknya. Keunggulan ini ditopang oleh landasan regulasi yang stabil, berbeda dengan KPK yang kerap diguncang revisi undang-undang. Sebagai penyidik, penuntut, sekaligus eksekutor putusan berdasarkan KUHAP, Kejagung memiliki yurisdiksi terintegrasi yang menjadi modal institusional besar. Dengan demikian, penonjolan Kejagung bukan sekadar capaian hukum, melainkan redistribusi kekuasaan yang penting dalam menjaga checks and balances.

Pergeseran Peran: Dari KPK ke Kejagung

Kejaksaan kini melampaui citra tradisionalnya sebagai aparat penegak hukum biasa. Sejak revisi UU KPK tahun 2019, KPK menghadapi berbagai pembatasan, termasuk kehadiran Dewan Pengawas yang memperlambat mekanisme penyitaan dan penyadapan. Sementara itu, Polri yang memiliki mandat luas—dari keamanan publik hingga penegakan hukum umum—tidak dapat menaruh fokus penuh pada kasus korupsi berprofil tinggi.

Celah inilah yang secara oportunistik sekaligus strategis diisi oleh Kejagung. Dengan konsistensi menangani kasus-kasus besar seperti Jiwasraya, Asabri, hingga skandal perdagangan timah, Kejagung menunjukkan political will yang jelas. Tanpa terjebak stigma pelemahan seperti KPK, maupun distraksi mandat luas seperti Polri, Kejagung berhasil tampil sebagai “aktor bersih” yang memulihkan kepercayaan publik.

Kapital Politik dari Kasus Berprofil Tinggi

Dalam ilmu politik, kekuatan sebuah institusi diukur dari kemampuannya menyentuh elite kekuasaan. Di titik inilah Kejagung unggul. Penanganan skandal bernilai puluhan hingga ratusan triliun rupiah menunjukkan keberanian sekaligus kapabilitas litigasi yang jarang terlihat dari lembaga lain.

Lebih dari sekadar menuntut pelaku, Kejagung sukses membangun modal politik yang besar: legitimasi publik. Keberhasilan pemulihan aset negara dalam jumlah fantastis menjadi bukti konkret bahwa penegakan hukum bisa berdampak langsung pada kesehatan fiskal nasional. Hal ini memberi Kejagung posisi tawar politik yang kuat sekaligus memperkuat iklim investasi karena menghadirkan kepastian hukum.

Keunggulan Regulasi dan Struktur Terintegrasi

Salah satu sumber keunggulan Kejagung terletak pada regulasinya. UU Kejaksaan (UU No. 16/2004 jo. UU No. 11/2021) memberi kewenangan penuh bagi Jaksa Agung dan Jampidsus untuk menyidik sekaligus menuntut tanpa campur tangan lembaga pengawas eksternal. Bandingkan dengan KPK yang sejak revisi UU 2019 harus meminta izin Dewan Pengawas dalam banyak prosedur penting—sebuah hambatan birokratis yang sering melemahkan efektivitasnya.

Selain itu, struktur Kejagung yang menyatukan fungsi penyidikan dan penuntutan di bawah satu atap membuat koordinasi jauh lebih efisien. Tidak ada tarik-menarik antar lembaga sebagaimana sering terjadi di KPK. Efisiensi ini memungkinkan Kejagung bertindak cepat dalam menangani kasus berprofil tinggi.

Dampak Ganda: Akuntabilitas dan Stabilitas Fiskal

Penonjolan Kejagung menghasilkan dua dampak strategis. Pertama, ia meningkatkan akuntabilitas elite dengan menunjukkan bahwa hukum bisa menyentuh lingkaran kekuasaan dan bisnis papan atas. Kedua, Kejagung berkontribusi nyata pada stabilitas fiskal negara. Pemulihan aset dari kasus korupsi tidak hanya bersifat punitif, tetapi juga menambah kas negara dalam jumlah signifikan.

Dengan kata lain, Kejagung bukan hanya “penegak hukum”, melainkan juga “penyelamat fiskal” yang memberi sinyal positif bagi publik, pelaku usaha, dan investor.

Kesimpulan: Tantangan Menjaga Independensi

Meski Kejagung kini berada di puncak legitimasi, tantangan terbesar justru ada di depan: menjaga independensi. Sebagai bagian dari eksekutif, Kejaksaan tetap rentan terhadap intervensi politik. Bahaya terbesar adalah jika keberhasilan ini berubah menjadi instrumen politik—untuk menekan lawan atau melindungi sekutu. Jika hal itu terjadi, modal politik yang telah dikumpulkan bisa runtuh seketika.

Karena itu, pengawasan publik dan akademisi menjadi krusial untuk memastikan momentum Kejagung tetap positif dan berkelanjutan. Kejagung harus membuktikan bahwa posisinya sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi tidak sebatas strategi politik jangka pendek, melainkan komitmen jangka panjang bagi penegakan hukum yang independen dan bersih.

Penulis: Dhafa Maheswara Putra, Mahasiswa Semester 1, Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)

LAINNYA