Pancasila sebagai Digital Immune System: Solusi Menangkal Krisis Empati dan Cyberbullying Gen Z di Era Ruang Maya

waktu baca 7 minutes
Selasa, 18 Nov 2025 14:41 0 Nazwa

OPINI | TD — Indonesia sedang berada dalam fase digitalisasi yang bergerak dengan kecepatan nyaris tanpa rem. Smartphone menjadi perpanjangan tangan manusia, ruang maya menjadi tempat berinteraksi utama, dan Generasi Z tumbuh dalam lingkungan yang serba konektivitas. Namun, modernitas ini membawa ironi yang menyakitkan: krisis etika dan merosotnya empati.

Laporan Digital Civility Index Microsoft (2021) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi terburuk dalam kesopanan digital di Asia Tenggara. Ini bukan sekadar “peringkat buruk”, tetapi cermin suram yang menunjukkan betapa rentannya ekosistem sosial kita di tengah gempuran perubahan teknologi.

Lebih parah lagi, hilangnya empati bukan hanya terjadi dalam interaksi biasa, tetapi menjelma menjadi tindakan destruktif: cyberbullying. Fenomena ini terutama dialami Gen Z—generasi yang lahir di era internet, namun justru paling rentan menjadi korban luka emosional di dalamnya.

Era digital menjanjikan inovasi, tetapi tanpa sandaran etika, ia berubah menjadi arena bebas nilai yang mengancam martabat manusia. Di titik inilah Pancasila, sebagai fondasi moral bangsa, menjadi sangat relevan—bukan sebagai teks hafalan, tetapi sebagai “digital immune system”, sebuah sistem imun moral yang bekerja otomatis dalam setiap interaksi online.

A. Krisis Empati dan Cyberbullying: Gambaran Buram Interaksi Gen Z di Ruang Maya

1. Krisis Empati di Kalangan Gen Z: Realitas yang Tidak Bisa Diabaikan

Dalam dua tahun terakhir (2023–2024), jagat media sosial Indonesia berkali-kali diguncang kasus cyberbullying, mulai dari siswa yang dirundung karena fisik hingga figur publik yang diserang habis-habisan. Pola kasarnya sama:

bermula dari satu video “canggung” atau pendapat yang dianggap “menyimpang”,

  • Diikuti gelombang komentar kasar,
  • dan berujung pada tekanan mental berat bagi korban.

Fenomena ini disebut sebagai mob mentality digital—mentalitas kerumunan yang merasa berhak menghakimi seseorang. Dengan tameng anonimitas, pelaku merasa bebas, tanpa rasa bersalah, tanpa empati.

Ketika perilaku ini menjadi normal, kita sedang menghadapi:

  • Dekadensi moral,
  • Lumpuhnya empati,
  • Hilangnya adab berkomunikasi,
  • dan runtuhnya martabat manusia di ruang maya.

Disinilah urgensi muncul: bagaimana bangsa yang menyatakan dirinya menjunjung Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat membiarkan budaya perundungan digital berkembang?

B. Menemukan Akar Masalah: Cyberbullying sebagai Pelanggaran Nilai Fundamental Pancasila

Fenomena ini bukan hanya masalah psikologis atau teknologis. Ia juga merupakan pelanggaran etis dan logis terhadap Pancasila, terutama tiga sila utama: Kemanusiaan, Persatuan, dan Kerakyatan.

1. Pelanggaran Sila Ke-2: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Cyberbullying secara langsung:

  • Merendahkan martabat manusia,
  • Melukai rasa aman korban,
  • dan menghilangkan prinsip adil dalam interaksi sosial.

Empati seakan mati. Adab digital tidak lagi menjadi standar perilaku.

Ketika seseorang menulis komentar kasar dengan enteng, ia tidak sadar bahwa:

  • Kata-kata itu dapat memicu trauma,
  • Komentar itu dibaca oleh jutaan orang,
  • dan dampaknya bisa menghancurkan masa depan korban.

Di sinilah nilai “beradab” diuji. Sayangnya, banyak yang gagal.

2. Pelanggaran Sila Ke-3: Persatuan Indonesia

Cyberbullying bukan hanya persoalan individu. Ia menciptakan:

  • Perpecahan sosial,
  • Polarisasi antar kelompok,
  • dan budaya saling serang di dunia maya.

Fanatisme terhadap idol, kelompok, atau opini kerap berubah menjadi peperangan digital. Ketika hoaks menyebar dan ujaran kebencian membakar emosi, rasa persatuan melemah. Gotong royong pun tergeser oleh kompetisi dan permusuhan.

3. Pelanggaran Sila Ke-4: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan

Keputusan Gen Z untuk men-judge seseorang di internet biasanya sangat impulsif:

  • Tidak berdasarkan pemikiran jernih,
  • Tidak melalui proses musyawarah,
  • dan tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang.

Demokrasi digital menjadi rapuh karena didominasi emosi sesaat, bukan akal sehat. Perilaku mob rule menggantikan prinsip kebijaksanaan.

C. Mengapa Solusi Hukum dan Teknologi Tidak Cukup?

Regulasi dan teknologi sering dijadikan jawaban cepat, tetapi keduanya memiliki kelemahan fundamental.

1. Keterbatasan Hukum

UU ITE sulit diterapkan pada kasus masif.

Proses pelaporan memakan waktu lama.

Banyak korban enggan melapor.

Hukum bersifat represif dan tidak mampu menumbuhkan empati. Ia hanya memaksa, bukan menyadarkan.

2. Keterbatasan Teknologi

AI dan moderasi konten:

Tidak bisa membaca konteks budaya,

Sulit memahami sarkasme,

Kerap bias dan tidak sensitif terhadap bahasa gaul Gen Z.

Platform digital pun lebih mengejar engagement ketimbang moralitas. Algoritma lebih menyukai konten kontroversial yang memicu komentar, meski itu berbahaya.

Kesimpulannya:

Cyberbullying tidak bisa diselesaikan hanya dengan solusi eksternal.
Ia harus dicegah dari dalam, melalui fondasi moral yang kuat.

Inilah alasan kita membutuhkan Pancasila sebagai digital immune system—sistem nilai yang bekerja otomatis mengendalikan perilaku secara sadar.

D. Menuju Solusi: Reaktualisasi Pancasila yang Kreatif, Adaptif, dan Relevan bagi Gen Z

Pancasila harus diangkat dari sekadar teks hafalan menjadi gaya hidup digital. Reaktualisasi nilai tidak boleh membosankan atau normatif. Ia harus:

  • Modern,
  • Estetis,
  • Relatable,
  • dan akrab dengan budaya Gen Z.

Berikut tiga solusi strategis dan terukur.

1. Solusi Berbasis Konten: Gerakan Pancasila Content Creator (PCC)

Generasi Z sangat dipengaruhi konten visual dan kreator digital. Maka, pendidikan moral harus masuk melalui jalur yang sama.

a. Pelatihan Creator Moral

BPIP dapat bekerja sama dengan:

  • Content agency,
  • Influencer muda,
  • Komunitas kreator digital.

Tujuannya menjadikan Pancasila sebagai inspirasi konten, bukan materi ceramah. Format kontennya pun harus kekinian:

  • Sketsa dilema moral,
  • Video perbandingan reaksi impulsif vs reaksi Pancasilais,
  • Konten edukasi ringan,
  • Storytelling interaktif.

Dengan cara ini, nilai-nilai Pancasila dapat masuk ke kesadaran Gen Z secara halus dan menyenangkan.

b. Gamifikasi dan Micro-Learning

Konten edukasi yang efektif harus singkat dan relevan.

Contoh:

– Mini game “Uji Empati Digital”,

– Webtoon tentang restorative justice digital,

– TikTok series “Pancasila untuk Anak Internet”.

Jika nilai Pancasila menjadi bagian dari pop culture, maka internalisasi akan berjalan jauh lebih efektif.

2. Solusi Berbasis Komunitas: Digital Restorative Justice (DRJ)

Pendekatan ini selaras dengan semangat Sila Ke-5: Keadilan Sosial.

a. Mediasi Berbasis Empati

Dalam kasus perundungan pelajar:

– Pelaku harus mengikuti sesi _empathy building_,

– Korban diberikan ruang aman untuk bercerita,

Fasilitator membantu proses pemulihan hubungan.

Pendekatan ini tidak hanya menyelesaikan kasus, tetapi mengubah perilaku pelaku secara permanen.

b. Kompensasi Edukatif

Alih-alih hukuman konvensional, pelaku diwajibkan:

– Membuat konten edukasi anti-cyberbullying sebanyak 5–10 video,

– Menerbitkannya di akun mereka sebagai tanggung jawab moral.

Dampaknya:

– Pelaku belajar dengan membuat konten,

– Publik mendapatkan edukasi,

– Korban mendapatkan pemulihan moral.

Keadilan sosial tercapai tanpa menambah beban administratif pada sistem hukum.

3. Solusi Berbasis Pendidikan: Reformasi Kurikulum Etika Digital

Pendidikan Pancasila harus naik kelas, dari hafalan menuju life skills.

a. Critical Digital Literacy (Sila Ke-4)

Pelajaran ini mengajarkan:

  • Cara memverifikasi informasi,
  • Cara membedakan hoaks,
  • Cara mengambil keputusan dengan bijak.

Siswa tidak hanya diajarkan apa itu hoaks, tetapi bagaimana logika bekerja dalam menyaring informasi.

b. Mindfulness Digital (Sila Ke-1 dan Ke-2)

Aktivitas praktis:

  • Latihan pause sebelum komentar,
  • Latihan menilai perasaan sendiri,
  • Praktik memikirkan dampak kata-kata.

Pertanyaan reflektif:

“Apakah komentar ini menyakiti orang lain?”
“Apakah tindakan saya ini beradab?”
“Apakah ini sesuai dengan martabat manusia?”

Teknik mindfulness sangat efektif mengurangi respons impulsif—akar utama cyberbullying.

Kesimpulan: Membangun Masa Depan Digital yang Pancasilais

Indonesia sedang menghadapi krisis moral digital yang tidak bisa diselesaikan dengan hukum dan teknologi saja. Cyberbullying, krisis empati, dan perilaku agresif di ruang maya adalah alarm keras bahwa kita membutuhkan pendekatan yang lebih dalam: pendidikan moral yang berbasis nilai, bukan sekadar regulasi.

Pancasila sebagai digital immune system adalah jawaban yang relevan dan strategis. Nilai yang hidup dan diinternalisasi mampu:

  • Mengendalikan perilaku,
  • Menumbuhkan empati,
  • Memperkuat persatuan,
  • serta menciptakan ruang digital yang aman dan beradab.

Jika Pancasila direvitalisasi melalui:

Gerakan kreator konten,

Restorative justice digital,

dan kurikulum etika digital yang mutakhir,

Maka Gen Z dapat tumbuh bukan hanya sebagai generasi cerdas teknologi, tetapi juga sebagai generasi berkarakter dan beradab.

Pada akhirnya, kemajuan teknologi hanya berarti jika dibarengi kemajuan moral. Masa depan digital Indonesia harus menjadi masa depan yang humanis, inklusif, dan Pancasilais.

Penulis: Dea Maharani
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA