OPINI | TD — Kemiskinan masih menjadi tantangan serius di Indonesia. Per Maret 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan nasional berada di angka 9,36 persen. Artinya, jutaan rakyat Indonesia masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal yang layak.
Mengentaskan kemiskinan bukan sekadar soal membagi bantuan, melainkan membangun sistem yang berkeadilan dan berkelanjutan. Di sinilah dua instrumen penting hadir: pajak dan zakat. Meski berasal dari dua ranah berbeda—negara dan agama—keduanya memiliki satu misi: mengurangi ketimpangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan.
Namun, bagaimana keduanya bekerja? Apakah berjalan sendiri-sendiri, atau justru bisa bersinergi untuk menciptakan dampak yang lebih besar?
Pajak adalah kontribusi wajib yang dibayarkan warga kepada negara dan digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan publik. Mulai dari pembangunan infrastruktur, subsidi pendidikan, layanan kesehatan, hingga program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)—semuanya bersumber dari pajak.
Dalam perspektif pembangunan, pajak memiliki fungsi strategis. Ia tidak hanya menggerakkan roda ekonomi nasional, tetapi juga berperan dalam redistribusi kekayaan. Pajak memungkinkan negara menjalankan fungsinya sebagai pelindung warga, terutama mereka yang lemah secara ekonomi.
Namun, masalah muncul ketika masyarakat merasa tidak mendapatkan manfaat langsung dari pajak yang mereka bayarkan. Persepsi ini menjadi tantangan besar, terutama dalam meningkatkan kepatuhan pajak secara sukarela.
Sementara pajak bekerja dalam sistem negara, zakat hadir sebagai instrumen spiritual sekaligus sosial dalam ajaran Islam. Umat Muslim diwajibkan menunaikan zakat atas harta mereka yang telah mencapai nisab, dan zakat tersebut disalurkan kepada delapan golongan penerima (mustahik) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (At-Taubah: 60).
Zakat memiliki keunggulan karena langsung menyentuh kelompok miskin. Lembaga seperti BAZNAS dan LAZ menyalurkan zakat dalam bentuk bantuan konsumtif maupun produktif—seperti modal usaha, pelatihan kerja, dan beasiswa.
Program seperti Desa Zakat di Lombok dan Sumatera Barat menunjukkan bahwa zakat bukan hanya untuk membantu, tetapi juga memberdayakan. Masyarakat yang sebelumnya bergantung pada bantuan kini mulai mandiri secara ekonomi melalui pelatihan bertani, berdagang, dan kerajinan.
Namun, potensi zakat nasional yang diperkirakan mencapai Rp 300 triliun per tahun belum tergali maksimal. Realisasi penghimpunannya masih jauh dari angka itu, akibat rendahnya kesadaran masyarakat dan belum optimalnya manajemen zakat.
Sering kali pajak dan zakat dipahami sebagai dua entitas yang berdiri sendiri, bahkan dianggap saling bersaing. Namun, pandangan ini keliru. Justru, kekuatan terbesar mereka terletak pada perbedaan fungsi yang saling melengkapi.
Pajak bekerja di skala makro—mengatur sistem, membiayai pembangunan, memperkuat institusi. Zakat bekerja di skala mikro—membantu individu dan komunitas kecil keluar dari jerat kemiskinan. Jika disinergikan, keduanya bisa menjadi kekuatan luar biasa.
Bayangkan jika potensi zakat nasional benar-benar tergali, lalu diarahkan untuk melengkapi program-program bantuan sosial yang didanai oleh pajak. Pemerintah bisa lebih fokus pada pembangunan jangka panjang (infrastruktur, pendidikan, kesehatan), sementara zakat difokuskan untuk kebutuhan mendesak masyarakat rentan—dengan respons yang lebih cepat dan fleksibel.
Untuk mewujudkan sinergi ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan:
Regulasi dan Kolaborasi: Pemerintah dan lembaga zakat perlu membangun sistem yang terkoordinasi, saling berbagi data dan sasaran program. Integrasi sistem informasi antara Kementerian Sosial, BAZNAS, dan lembaga terkait bisa menjadi awal yang baik.
Transparansi dan Akuntabilitas: Baik dalam pengelolaan pajak maupun zakat, transparansi adalah kunci. Ketika masyarakat melihat langsung dampak positif dari kontribusi mereka, maka kepercayaan akan tumbuh.
Edukasi dan Literasi Publik: Kesadaran membayar pajak dan menunaikan zakat harus ditanamkan sejak dini, terutama di kalangan generasi muda. Kampanye yang kreatif dan berbasis nilai bisa meningkatkan partisipasi publik.
Inovasi Digital: Di era digital, pengelolaan pajak dan zakat harus bertransformasi. Aplikasi pembayaran, pelaporan real-time, hingga sistem rating lembaga amil bisa meningkatkan efisiensi dan kepercayaan.
Pajak dan zakat adalah dua sayap yang bisa membawa Indonesia terbang lebih tinggi dalam mengatasi kemiskinan dan membangun keadilan sosial. Keduanya tidak perlu dipertentangkan, karena peran dan cakupannya berbeda namun saling melengkapi.
Sebagai mahasiswa dan bagian dari generasi muda, saya meyakini bahwa masa depan bangsa tidak bisa diserahkan hanya kepada negara atau agama secara terpisah. Kita butuh pendekatan kolaboratif yang melibatkan semua elemen masyarakat—dari negara, lembaga agama, hingga individu warga negara.
Jika sinergi ini berhasil dibangun, maka kita tidak hanya akan melihat angka kemiskinan menurun, tetapi juga menyaksikan tumbuhnya masyarakat yang mandiri, adil, dan berkeadaban.
Penulis: Fauzy Naufal Mubarok, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)