Perwakilan dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari BPKN, Ditjen Pajak, HIMKI, akademisi, hingga praktisi, berfoto bersama setelah menghadiri diskusi Refleksi Pajak Akhir Tahun 2025. Forum ini mencerminkan pendekatan kolaboratif pentahelix dalam merumuskan kebijakan fiskal yang lebih adil dan berkelanjutan, termasuk mendesak penghentian fasilitas pajak bagi industri perusak lingkungan. (Foto: Ist)JAKARTA | TD — Pentahelix Center menegaskan bahwa kerusakan alam akan terus meningkat selama kebijakan pajak Indonesia belum sepenuhnya menerapkan prinsip ekologi. Pajak, yang seharusnya menjadi instrumen untuk menjaga kelestarian hutan dan mengatur perilaku industri, justru kerap memberikan fasilitas bagi pelaku usaha yang merusak lingkungan.
“Prinsip dasar keadilan ekologis harus ditegakkan setegak-tegaknya. Pihak yang merusak alam harus menanggung biaya atas dampak yang ditimbulkan. Selama aktivitas yang merusak lingkungan masih menerima keringanan, tax holiday, atau fasilitas fiskal lainnya, kerusakan ekologis akan terus berlangsung. Negara harus membayar penderitaan korban banjir dengan kebijakan fiskal yang nyata,” ujar Alip Purnomo, Direktur Eksekutif Pentahelix Center, usai memimpin diskusi Refleksi Pajak Akhir Tahun di Universitas MH Thamrin, Jakarta, Kamis, 11 Desember 2025.
Alip menyampaikan bahwa pemerintah perlu mendesain ulang arah fiskal nasional menuju kebijakan yang lebih hijau. Ini termasuk penerapan pajak karbon yang nyata, insentif bagi daerah yang menurunkan deforestasi, serta penghentian seluruh fasilitas pajak bagi industri yang terbukti merusak lingkungan. Ia menegaskan bahwa desain fiskal yang tepat adalah kunci transformasi ekonomi Indonesia menuju model pembangunan hijau yang berkelanjutan.
Dialog yang digelar Pentahelix Center bersama Tax Center dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas MH Thamrin turut menyoroti berbagai persoalan publik lainnya. Mulai dari pembangunan yang tidak sebanding dengan pajak yang dibayar masyarakat, beban administrasi UMKM, hingga keluhan industri meubel yang masih menghadapi biaya produksi tinggi meski menyumbang devisa melalui ekspor. Diskusi tersebut mempertanyakan mengapa penunggak pajak besar tetap menikmati keistimewaan, sementara masyarakat kecil langsung mendapat sanksi.
Acara ini dihadiri oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Direktorat Jenderal Pajak, Himpunan Industri Meubel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), praktisi media, praktisi pajak, akademisi, dan mahasiswa. Mengusung tema Moral Fiskal di Era Digital: Antara Kepatuhan, Kepercayaan, dan Keadilan, forum ini mencerminkan kolaborasi lintas-sektor ala pentahelix untuk mendorong kebijakan fiskal yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan. (Rls)