CERPEN | TD – Baru beberapa hari yang lalu, Paijo menatap layar HP-nya dengan tatapan penuh harap. Di dalam sorot matanya, terlihat ambisi yang membubung tinggi ketika menekan tombol ‘OK‘ pada aplikasi mobile tabungannya. Ia baru saja mentransfer uang Rp50 juta, yang merupakan separuh tabungannya, ke akun futures di exchange kripto miliknya.
“Kalau tidak sekarang, kapan lagi?” katanya. Ia mencuci tangan seolah sedang menyucikan niat. Saat itu, harga Bitcoin berada di $110.000 dan terlihat tanda-tanda mau meroket ke bulan.
Dengan mantap dan tekad yang kuat ia tekan tombol ‘Long 40x. All-in.‘. Tak lama kemudian, Bitcoin terbang ke harga $118.000.
Paijo pun bangkit dari kursi dengan wajah sumringah. “Alhamdulillah!” serunya. Namun, sesaat kemudian ia bergeming. Keuntungan besar yang ia dapat tersebut memacunya untuk mencoba peruntungan yang lebih besar.
“Ini baru permulaan. Sebentar lagi nasib hidupku akan benar-benar berubah. Kalau modal dan profit ini aku gulung lagi maka tinggal satu langkah lagi pasti jadi sultan.”
Maka, tanpa ragu, ia kembali menambahkan seluruh sisa tabungannya ke dalam aplikasi investasi kripto tersebut. Jumlah seluruhnya, yakni semua modal plus profit, Rp195.450.000, kali ini dengan leverage 50x, entry di harga $118.000.
Dan benar saja, Bitcoin terus naik ke $123.000. Paijo menatap saldo di aplikasi exchange kripto miliknya sambil tangannya gemetar. Kemudian berteriak keras dengan penuh perasaan girang. “Enam ratus juta! Dari 50 juta! Ini bukan hoki. Ini takdir!”
Namun, keuntungan berlipat yang terasa tanpa rintangan adalah sumber ketidakpuasan. Keserakahan memang sering datang diam-diam, justru di saat seseorang merasa paling benar dan paling beruntung.
Saat BTC menyentuh $123.500, semua media dan influencer ramai berkata, “Bullrun Bitcoin sedang membara! Target 150K tinggal menunggu waktu!” Sementara, Paijo tersenyum sangat lebar sambil berkata, “Ini waktunya aku akan jadi miliarder! Semua modal dan profit ini akan aku gulung satu kali lagi. Kalau BTC ke 150 ribu, uangku bisa jadi miliaran.”
Maka, ia masukkan semua rupiah yang ia punya. Rp610.364.000, leverage tetap 50x, entry di harga $123.500. “Sedikit lagi! Cuma naik belasan persen, dan aku resmi jadi M-I-L-I-A-R-D-E-R!”
Dengan perasaan yakin dan ringan, Paijo berlalu ke kamar mandi. Ia memutuskan mem-‘final’-kan kegirangan dengan kesegaran mandi sore.
Sambil menyabuni kepala, ia membayangkan menerima transfer saldo miliaran ke rekening. Kemudian membeli rumah dua lantai di kota. Dan, mengirim undangan reuni bertuliskan “Salam dari Sultan Paijo” kepada seluruh teman kuliahnya dahulu.
Setelah mandi selesai, masih dengan sisa sabun di telinga, ia membuka HP dengan deg-degan bahagia. Namun, dalam sekejap mata, wajahnya tertegun tak percaya.
Tampilan dalam layar HP-nya tertulis:
📉 Harga BTC: $119.000
🟥 Saldo Futures: 0.00
Seketika, Paijo merasa gagu. Lidahnya kelu. Menit itu membuatnya merasa melayang, terlempar jauh dalam kecepatan cahaya menuju ruang angkasa tak berpenghuni, tak beroksigen. Jaraknya mungkin seabad dari bumi.
Dalam ketertegunan Paijo, handuk di bahunya lengser dan terjatuh ke keramik berwarna kusam di samping kakinya. Tubuhnya yang semula basah, kini mengering dengan sendirinya. Semuanya terasa lenyap dan kosong. Tidak ada lagi uang miliaran. Mimpinya menjadi sultan seolah tersedot ke lubang hitam galaksi Andromeda. Yang tersisa hanyalah rasa pahit yang perlahan menjalar pada lidahnya. Begitulah yang ia rasakan saat memandang kembali saldo berangka 0 di layar gadget-nya.
Disclaimer: Cerita ini memang fiktif, tapi terinspirasi dari kenyataan pahit yang pernah dialami oleh penulis sendiri. Bukan untuk ditertawakan, tapi untuk diingat agar tidak terulang. Karena di balik satu Paijo yang gagal, ada ribuan lagi yang menyusul dengan mimpi serupa, namun lupa menyiapkan logika dan rem.
Penulis: Sugeng Prasetyo
Editor: Patricia