OPINI | TD — Gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang telah diajukan oleh Partai Prima ke Pengadilan Negeri Jakarta pusat pada tanggal 08 Desember 2022 telah dimenangkan dengan nomor register Perkara NO.757/PDT.G/2022/PN.JKT.PST telah menghukum KPU RI.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai berikut;
1. Menerima Gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Penggugat adalah Partai Politik yang dirugikan dalam Verifikasi administrasi oleh Tergugat.
3. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materil sebesar Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) kepada Penggugat.
4. Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melakasanakan tahapan Pemilihan Umum dan awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.
5. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitoverbaar bij voorraad).
6. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Tergugat sebesar Rp.410.000.(empat ratus sepuluh ribu rupiah).
Dasar hukum gugatan Partai Prima ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah pasal 1365 KUHP sebagai dasar gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap KPU RI didasari fakta dengan bukti dan saksi-saksi dimana KPU R telah melakukan kesalahan verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu yang menyatakan status akhir Partai Pima tidak memenuhi syarat sebagai Partai Politik Calon Peserta Pemilu tahun 2024. Sehingga Partai Prima dirugikan dikarenakan tidak bisa mengikuti tahapan pemilu berupa Verifikasi Faktual partai politik calon peserta pemilu 2024.
Konsekuensi hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat harus dilaksanakan dan dipatuhi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, karena sifat putusan hakim adalah memaksa sama nilainya dengan UU mengikat bagi para pihak dan Pasal 195 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dalam perkara Perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh Undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi Keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya sebab kalau tidak ada kemungkinan memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam memutus perkara NO.757/PDT.G/2022/PN.JKT.PST memiliki independensi dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun dan harus dihormati oleh semua pihak termasuk oleh Mahkamah Agung sendiri, prinsip indepedensi hakim merupakan prinsip universal dan dianut di seluruh sistem hukum di dunia, dan dijamin didalam pasal 24 UU 1945 dan UU No. 38 Tahun 2009 tentang prinsip kekuasaan kehakiman. Berdasarkan prinsip negara hukum, hakim memiliki kebebasan dalam mengadili dan memutuskan sebuah perkara.
Keyakinan hakim dalam teori pembuktian biasa disebut dengan conviction intime. Pada teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonnee) dijelaskan bahwa putusan hakim berdasarkan pada keyakinan sampai pada batas tertentu yang didukung argumentasi juridis yang jelas (laconviction raisonnee).
Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.
Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan-alasan keyakinannya (frejebewijstheorie). Sehingga dalam keyakinan hakim ada beberapa macam seperti hanya didasarkan atas konklusi keyakinan hakim itu sendiri dan ada konklusi yang didasarkan atas pada ketentuan undang-undang.
Berdasarkan kemandirian dan keyakinan hakim tersebut maka dapat dipahami bahwa peran hakim secara umum yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan. Dimana seorang hakim dapat menegakkan kebenaran dan keadilan dengan yaitu dengan cara:
a. Harus mampu menafsir Undang-undang secara aktual, Agar hukum yang diterapkan dilenturkan sesuai dengan kebutuhan perkembangan kondisi, waktu dan tempat, maka hukum yang diterapkan itu sesuai dengan kepentingan umum dan kemaslahatan masyarakat masa kini, namun demikian pada setiap kegiatan peran hakim menafsir dan menentukan undang-undang mesti tetap beranjak dari landasan cita-cita umum (common basic idie) yang terdapat dalam falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan.
b. Harus berani berperan menciptakan hukum baru atau sebagai pembentuk hukum, Hal ini dapat diwujudkan hakim dengan jalan menyelami kesadaran kehidupan masyarakat dan dari pengalaman tersebut hakim berusaha menemukan dasar-dasar atau asas-asas hukum baru, akan tetapi dalam hal inipun harus tetap beranjak dari common basic idie falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan.
c. Harus berani melakukan contra legem, Dalam hal ini hakim harus berani menyingkirkan ketentuan pasal undang-undang tertentu, dilakukan setelah hakim menguji dan mengkaji bahwa ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan ketertiban, kepentingan dan kemaslahatan umum, maka dalam keadaan seperti ini kesampingkan pasal tersebut dan berbarengan dengan boleh mencipta hukum baru atau mempertahankan yurisprudensi yang sudah bersifat stare decesis.
d. Harus mampu berperan mengadili secara kasuistik, Pada prinsipnya setiap kasus mengandung particular reason, maka dalam kenyataan tidak ada perkara yang persis mirip, oleh karena itu hakim harus mampu berperan mengadili perkara case by case.
Sehingga narasi asumsi Negatif para ahli berpendapat jika putusan hakim pengadilan negeri Jakarta Pusat keliru atau tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara tidaklah tepat dan salah besar. Karena seluruh tahapan proses sengketa administrasi sebagai Partai Calon Peserta Pemilu sudah ditempuh dan dilalui oleh Partai Prima melalui jalan Konstitusi.
Maka atas dasar putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat a quo sudah tepat, semua pihak harus menghormati putusan atas kemenangan gugatan dari Partai Prima di pengadilan negeri Jakarta Pusat, dan Proses hukum dalam Gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap KPU RI yang diajukan oleh Partai Prima belum belum memiliki kekuatan hukum tetap (incraht) karena masih ada upaya hukum seperti Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Partai Prima dalam dalam memperjuangan keadilan persamaan tanpa diskriminasi sebagai Partai Politik Calon Peserta Pemilu 2024 secara hukum telah melalui jalan konstitusi yang benar dan bukan kali pertama mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, segala upaya hukum sudah ditempuh untuk mendapatkan keadilan dimulai sejak Bulan April 2022 Partai Prima sudah mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal 173 ayat (1) UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu, sengketa proses Administrasi di Bawaslu RI, pengaduan DKPP RI dan Gugatan PTUN Jakarta dengan objek sengketa adalah surat keputusan KPU RI sudah ditempuh semuanya.
Jadi jika putusan hakim diintervensi oleh penguasa atau siapapun dengan mengikuti selera kehendak penguasa buat apa ada hukum. Setiap orang mempunyai persamaan di hadapan hukum, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 27 UUD 1945, sebagai ide atau gagasan atau cita-cita hukum. Asas persamaan hak disebut juga sebagai asas “equality before the law”.
Penulis : Raden Elang Mulyana (Praktis Hukum Konstitusi)