OPINI | TD — Fenomena pengibaran bendera Jolly Roger dari anime One Piece oleh masyarakat Indonesia, terutama kalangan muda, telah membuka diskusi yang lebih luas tentang posisi kritik sosial dalam demokrasi Indonesia. Apa yang awalnya merupakan simbol dari budaya pop Jepang justru berubah menjadi alat ekspresi kekecewaan terhadap pemerintahan Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto. Simbol ini—yang bermakna kebebasan, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan—menjadi bentuk protes damai yang tersebar luas menjelang perayaan kemerdekaan RI ke-80. Namun, tindakan aparat yang menurunkan bendera dan menghapus mural menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi di Indonesia masih menghadapi batasan. Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting: seberapa siap demokrasi Indonesia menerima kritik, terutama jika disampaikan melalui bentuk ekspresi yang tidak konvensional?
Simbol Jolly Roger dari One Piece telah menjadi jembatan antara budaya pop dan kesadaran sosial-politik. Pengibaran bendera ini bukan tindakan iseng atau tanpa makna. Sebaliknya, ia adalah bentuk kritik visual terhadap ketimpangan, ketidakadilan, dan kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak-hak publik. Berkat popularitas One Piece di berbagai lapisan masyarakat, pesan yang ingin disampaikan menjadi mudah diterima dan menyebar cepat—dari kampus, jalanan, hingga media sosial.
Namun, bukannya dilihat sebagai ekspresi politik yang sah, aksi ini justru dianggap sebagai gangguan terhadap ketertiban umum. Padahal, tidak ada unsur kekerasan, ujaran kebencian, atau upaya makar dalam pengibaran bendera tersebut. Justru, masyarakat mencoba bersuara melalui cara yang damai dan kreatif.
Respon negatif terhadap pengibaran bendera One Piece banyak datang dari kalangan tua yang masih terikat pada trauma sejarah. Bagi mereka, mengibarkan bendera selain merah putih—terutama menjelang hari kemerdekaan—dianggap sebagai tindakan makar. Pengalaman pahit dari konflik-konflik bersenjata masa lalu seperti PRRI/Permesta, GAM, dan RMS membentuk persepsi bahwa simbol apapun selain milik negara adalah ancaman.
Namun, konteks zaman telah berubah. Generasi muda tidak melihat Jolly Roger sebagai simbol kekerasan atau separatisme, melainkan sebagai bentuk solidaritas, perjuangan kolektif, dan perlawanan terhadap sistem yang dinilai tidak berpihak. Di sinilah letak pentingnya dialog antargenerasi untuk membangun pemahaman bersama akan bentuk-bentuk ekspresi baru yang muncul di era digital.
Menurut para pakar hukum pidana seperti Chairul Huda (Universitas Muhammadiyah Jakarta) dan Muhammad Fatahillah Akbar (Universitas Gadjah Mada), aksi pengibaran bendera One Piece merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. Hal ini sesuai dengan:
Sayangnya, penafsiran hukum oleh aparat di lapangan kerap berbeda. Tindakan represif dilakukan dengan dalih menjaga stabilitas dan nasionalisme, namun mengabaikan semangat demokrasi dan perlindungan hak sipil yang sudah tertuang dalam konstitusi. Hal ini menunjukkan ketidaksiapan sebagian pihak dalam menerima bentuk-bentuk kritik yang tidak konvensional.
Jika perlawanan selalu dibungkam dan kritik dianggap mengganggu ketertiban, maka ruang demokrasi hanya akan menjadi panggung simbolik, bukan wadah partisipasi rakyat. Keberlanjutan kritik sosial di Indonesia harus diarahkan pada ekspresi yang bijak dan bertanggung jawab. Ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan:
Kebebasan berekspresi dijamin, namun bukan berarti tanpa batas. Ekspresi yang sehat tidak memuat kekerasan, ujaran kebencian, atau hoaks. Masyarakat perlu mengetahui hak-haknya sekaligus batasan legal agar tetap berada di jalur yang sah.
Ekspresi tanpa pemahaman konteks bisa menjadi sia-sia, bahkan kontraproduktif. Kritik sosial harus dibangun di atas pemahaman situasi politik dan kebutuhan publik. Ketika ekspresi lahir dari pengetahuan, maka dampaknya akan lebih kuat dan bermakna.
Ekspresi publik hidup dalam masyarakat yang beragam. Perbedaan pandangan dan sensitivitas budaya harus diperhitungkan agar kritik tidak berubah menjadi konflik sosial. Ekspresi yang bertujuan memperbaiki sistem harus tetap menjaga harmoni sosial.
Kasus bendera One Piece membuka mata kita bahwa demokrasi sejati bukan hanya soal pemilihan umum, tetapi juga soal bagaimana negara memperlakukan suara rakyat di luar bilik suara. Ketika kritik dibungkam, ketika simbol ekspresi damai dipandang sebagai ancaman, maka demokrasi kehilangan maknanya.
Indonesia butuh ruang berekspresi yang lebih luas, adil, dan inklusif. Kritik sosial dari generasi muda harus diterima sebagai bahan refleksi, bukan sebagai musuh negara. Justru dari suara-suara inilah, demokrasi tumbuh dan diperbaiki.
Penulis: Evelyn Quinta Panggabean
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)