OPINI | TD — Di tengah meningkatnya politisasi agama dalam kontestasi demokrasi Indonesia, muncul kebutuhan akan sebuah pendekatan keagamaan yang mamp u menjaga kemurnian ajaran sekaligus menegakkan rasionalitas publik. Neo-Salafisme hadir sebagai jalan tengah: bukan gerakan politik, melainkan upaya intelektual dan spiritual untuk memisahkan kesucian agama dari kepentingan elektoral tanpa menolak pentingnya partisipasi politik umat Islam.
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia menghadapi gelombang besar politisasi agama. Agama, yang seharusnya menjadi sumber etika dan moralitas publik, justru dijadikan alat politik praktis. Narasi seperti “memilih kandidat tertentu akan masuk surga, sementara yang menolak akan masuk neraka” mencerminkan betapa dangkalnya pemahaman politik sebagian elite. Fenomena ini menunjukkan bahwa politik identitas telah mengikis rasionalitas publik.
Bagi sebagian politisi, agama adalah modal politik yang mudah dijual. Mereka memanfaatkan simbol, jargon, dan figur ulama untuk meraih legitimasi. Akibatnya, masyarakat sering terjebak dalam polarisasi semu di mana pilihan politik dianggap sebagai cerminan keimanan. Padahal, Islam menegaskan bahwa memilih pemimpin adalah urusan duniawi yang harus dilandasi pertimbangan maslahat, keadilan, dan kapasitas — bukan janji spiritual palsu yang menentukan surga dan neraka.
Dalam konteks tersebut, Neo-Salafisme hadir bukan sebagai ideologi politik, melainkan sebagai gerakan pemikiran yang berupaya memurnikan agama dari distorsi kepentingan duniawi. Neo-Salafisme menekankan pentingnya kembali kepada sumber utama ajaran Islam — Al-Qur’an dan Sunnah yang sahih — serta rasionalitas dalam memahami keduanya.
Pendekatan ini menempatkan agama sebagai pedoman moral, bukan instrumen politik. Neo-Salafisme berfungsi sebagai filter epistemologis yang membantu umat membedakan antara ajaran Islam yang autentik dan narasi politik yang manipulatif. Dengan prinsip tabayyun (klarifikasi) dan dalil sahih, umat didorong untuk berpikir kritis dan tidak mudah terprovokasi oleh propaganda berbasis agama.
Neo-Salafisme tidak menolak demokrasi, tetapi menolak politisasi agama yang menyesatkan. Relevansinya di Indonesia sangat kuat, karena masyarakat Muslim sering menjadi target manipulasi elektoral. Untuk menjaga keseimbangan antara kemurnian ajaran dan keterbukaan sosial, gerakan ini perlu mengembangkan strategi dakwah dan pendidikan politik yang inklusif.
Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:
Neo-Salafisme menawarkan paradigma baru bagi umat Islam Indonesia: mengembalikan agama pada fungsi moralnya tanpa menafikan realitas politik. Dengan menolak politisasi agama, gerakan ini menjaga kesakralan Islam sekaligus memperkuat rasionalitas publik dalam berdemokrasi.
Indonesia membutuhkan pemilih yang cerdas, bukan fanatik buta. Pemimpin yang baik dipilih karena kapasitas, integritas, dan keadilan, bukan karena retorika religius yang menyesatkan. Neo-Salafisme, jika dijalankan secara bijak, dapat menjadi jalan tengah yang memadukan kemurnian ajaran dengan komitmen kebangsaan, menjaga harmoni sosial, dan memperkuat kualitas demokrasi di negeri yang plural ini.
Penulis: Raden Raja Arya Rahman Natakusumah, mahasiswa semester 1 mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta. (*)