OPINI | TD — Panggung politik Indonesia tak pernah sepi dari drama dan dinamika. Di setiap era, selalu ada figur muda yang muncul di tengah bayang-bayang kekuasaan besar. Salah satu yang kini menjadi sorotan adalah Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden Indonesia periode 2024–2029, sekaligus putra sulung Presiden Joko Widodo.
Nama Gibran membawa magnet tersendiri. Ia hadir di politik bukan hanya sebagai “anak presiden”, tetapi juga simbol generasi baru yang mencoba menapaki tangga kekuasaan nasional. Namun, di balik dukungan besar yang mengiringinya, terselip berbagai tantangan: mulai dari isu dinasti politik, konflik internal koalisi, hingga ujian kemandirian kekuasaan menjelang Pemilu 2029.
Tak bisa dipungkiri, langkah awal Gibran di politik sangat dipengaruhi oleh warisan politik Jokowi. Pengalamannya sebagai Wali Kota Solo menjadi pijakan awal menuju panggung nasional. Nama besar ayahnya memberi kemudahan akses, liputan media, hingga dukungan struktural dan non-struktural dari jaringan Jokowi.
Namun, warisan ini sekaligus pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mendapat legitimasi kuat dan dukungan luas. Di sisi lain, publik terus menguji sejauh mana Gibran mampu berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bayang-bayang Jokowi.
Kini Gibran berada dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang menjadi tumpuan pemerintahan Prabowo–Gibran. Di dalamnya, terdapat beragam partai dan kelompok elite dengan kepentingan masing-masing.
Istilah “geng politik” Gibran bisa diartikan sebagai jaringan relawan, elite lokal, dan tokoh-tokoh yang loyal baik kepada dirinya maupun kepada warisan politik Jokowi. Namun, semakin besar koalisi, semakin besar pula potensi gesekan. Loyalitas bisa berubah arah jika kepentingan antar-elite tak lagi sejalan.
Isu dinasti politik menjadi bayangan yang terus mengikuti Gibran. Kritik publik kerap muncul: apakah Gibran memang memiliki kapasitas politik yang layak, atau hanya menikmati karpet merah hasil kerja ayahnya?
Untuk menjawab itu, Gibran harus menunjukkan kinerja konkret, bukan sekadar simbol kontinuitas Jokowi. Ia perlu menghadirkan kebijakan yang pro-rakyat dan mampu mencerminkan visi politik yang berbeda dan lebih progresif.
Sebagai wakil presiden muda, Gibran menghadapi empat tantangan besar:
Menjelang 2029, ada beberapa skenario yang mungkin terjadi:
Untuk bertahan dan berkembang, Gibran perlu menyiapkan strategi matang:
Nasib politik Gibran Rakabuming Raka menuju 2029 akan ditentukan oleh bagaimana ia menavigasi antara warisan dan pembaruan. Di satu sisi, ia membawa nama besar yang memberinya akses istimewa. Namun di sisi lain, ia dituntut membuktikan kapasitas sebagai pemimpin muda yang mandiri dan visioner.
Jika ia mampu mengelola jaringan politiknya dengan cerdas, menjaga kepercayaan publik, dan tampil sebagai pemimpin yang pro-rakyat, Gibran bisa menjadi wajah baru politik Indonesia. Namun jika gagal keluar dari bayang-bayang dinasti, ia mungkin hanya akan menjadi catatan singkat dalam sejarah kekuasaan pasca-Jokowi.
Penulis: Fannesa Fatihah Pasaribu
Mahasiswa Semester 1, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta. (*)