Martharia House. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD — Di tengah derasnya arus digitalisasi, Indonesia menghadapi salah satu krisis moral terbesar dalam satu dekade terakhir: maraknya perjudian online yang merusak sendi kehidupan sosial, menghancurkan ekonomi keluarga, dan bahkan mencabut nyawa. Fenomena ini bukan sekadar persoalan kriminal atau pelanggaran undang-undang. Ia telah menjelma menjadi penyakit sosial yang menunjukkan bagaimana manusia dapat kehilangan daya refleksi, daya nalar, bahkan kemanusiaannya, ketika berhadapan dengan kapitalisme media yang menargetkan hasrat terdalam manusia: keinginan untuk memperoleh keuntungan instan.
Data menunjukkan kenyataan yang tak terbantahkan. PPATK mencatat perputaran uang judi online mencapai Rp 327 triliun pada tahun 2023, angka yang lebih besar dari Produk Domestik Bruto beberapa provinsi di Indonesia. Nilai sebesar itu hanya mungkin tercapai jika jutaan orang terlibat dalam lingkaran gelap yang sama: kecanduan, keputusasaan, utang, dan kehancuran keluarga.
Dalam rentang 2023–2024 saja, publik diguncang oleh serangkaian kasus tragis: istri polisi di Mojokerto yang membakar suaminya karena tekanan utang judi online; seorang Letnan TNI AL di Papua yang memilih mengakhiri hidup karena terlilit ratusan juta rupiah; seorang prajurit TNI di Bogor yang diduga bunuh diri setelah tak mampu membayar utang judi. Ketiganya hanyalah wajah dari ribuan tragedi yang tak tersorot kamera.
Fenomena ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Perjudian online tumbuh subur karena ruang digital Indonesia kini dikuasai oleh algoritma yang agresif dan model bisnis kapitalistik yang memonetisasi perhatian manusia. Dalam ekosistem seperti ini, nilai-nilai moral dan akal sehat pelan-pelan terkikis. Manusia mulai melihat untung rugi bukan lagi berdasarkan kerja keras, tetapi berdasarkan spekulasi.
Inilah wajah narkolema digital—kondisi di mana masyarakat mengalami “kelumpuhan kesadaran” karena terpaan konten dan rangsangan digital yang membuat seseorang sulit membedakan antara pilihan etis dan keinginan instan.
Kini, pertanyaannya: bagaimana mungkin bangsa sebesar Indonesia dapat bertahan jika fondasi moralnya terus diporak-porandakan oleh budaya digital yang tak terkendali?
Kapitalisme digital bekerja dengan logika sederhana: perhatian manusia adalah komoditas. Semakin lama seseorang terpaku pada layar, semakin besar keuntungan yang diperoleh platform digital. Bagi bandar judi online, logika ini menjadi peluang untuk menciptakan industri “dopamin instan” yang memanfaatkan kelemahan psikologis manusia.
Survei Populix menunjukkan bahwa lebih dari 80% pengguna internet Indonesia terpapar iklan judi online, dan mayoritas mengaku melihatnya hampir setiap kali membuka media sosial. Ini bukan kebetulan; ini adalah strategi pemasaran yang dipersonalisasi melalui algoritma.
Dalam konteks psikologis, judi online bekerja seperti mekanisme narkoba. Setiap kemungkinan menang—betapapun kecilnya—memicu lonjakan dopamin yang memberi sensasi euforia cepat. Namun, euforia ini bersifat semu, sehingga pecandu terus mengejar sensasi yang sama dalam bentuk taruhan yang lebih besar. Inilah mengapa istilah digital narcolepsy atau “narkolema digital” sangat tepat: individu kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan rasional dan tersedot dalam pola kecanduan yang berulang.
Ketika kekalahan menumpuk dan simpanan habis, pintu keluar yang paling mudah—meski paling mematikan—adalah pinjaman online ilegal. OJK mencatat bahwa lonjakan pengaduan pinjol ilegal sebagian besar didorong oleh pengguna yang berutang demi menutup kerugian judi online. Siklusnya brutal: kalah → pinjam → kalah lebih besar → teror debt collector → putus asa.
Fenomena ini merupakan contoh paling gamblang tentang bagaimana kapitalisme digital dapat memanfaatkan kerentanan pribadi dan mengubahnya menjadi komoditas yang menguntungkan.
Jika ingin jujur, persoalan judi online bukan sekadar soal finansial. Ia adalah persoalan nilai. Ia menunjukkan bagaimana Pancasila, yang seharusnya menjadi panduan moral, kini sering hanya menjadi teks hafalan tanpa makna praksis.
Mari kita lihat bagaimana judi online secara terang-terangan bertentangan dengan lima sila Pancasila:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Semua agama besar di Indonesia melarang perjudian. Ketika masyarakat terjerat judi, spiritualitas digantikan oleh mentalitas untung-rugi yang absurd. Ketenteraman hati digantikan kecemasan permanen karena utang dan harapan semu.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Judi online merampas martabat manusia. Mereka yang terjebak tidak hanya kehilangan uang, tetapi juga kehilangan kendali diri. Kekerasan dalam rumah tangga, depresi, hingga bunuh diri adalah bukti bahwa martabat itu telah hancur.
3. Persatuan Indonesia
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam bangsa. Ketika keluarga hancur, persatuan bangsa secara perlahan ikut retak. Setiap perceraian akibat judi online adalah bubuk kecil yang membentuk keretakan besar.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
Perjudian mematikan kemampuan reflektif. Keputusan bukan lagi hasil diskusi dan pertimbangan, melainkan impuls sesaat. Pada akhirnya, masyarakat kehilangan kapasitas untuk berpikir jernih dan bertindak bijak.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Judi online adalah bentuk ketidakadilan struktural. Uang yang seharusnya berputar dalam ekonomi produktif justru mengalir ke bandar, platform asing, dan jaringan kriminal. Masyarakat kecil semakin miskin, sementara oligarki digital semakin kaya.
Dengan demikian, judi online bukan hanya aktivitas ilegal; ia adalah antitesis langsung dari Pancasila.
Sejak 2023, Kominfo membanggakan pemblokiran jutaan konten judi online. Namun kenyataannya, setiap kali satu situs ditutup, puluhan situs baru bermunculan. Judi online bergerak layaknya virus digital: adaptif, cepat, dan sulit dilacak.
Pendekatan hukum hanya memenggal ranting; akarnya tetap hidup.
Masalah sesungguhnya bukan pada situs, tetapi pada mentalitas digital masyarakat. Bandarnya mungkin beroperasi dari luar negeri, tetapi konsumsinya terjadi di ruang-ruang domestik Indonesia: di kamar tidur anak muda, di ponsel pekerja pabrik, di sela waktu istirahat pegawai kantor.
Kita menghadapi masalah moral, bukan sekadar masalah teknis. Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih mendasar—pendekatan berbasis nilai.
Jika ingin merawat kemanusiaan di tengah era kapitalisme digital, Indonesia harus menjadikan Pancasila sebagai alat refleksi publik, bukan hanya ritual di hari Senin. Pancasila harus menjadi vaksin moral yang membuat masyarakat kebal terhadap narasi palsu tentang kekayaan instan.
1. Pendidikan Pancasila yang Relevan untuk Gen Z
Metode ceramah sudah tidak relevan. Gen Z hidup dalam ekosistem digital yang dinamis; pendekatan pendidikan harus mencerminkan realitas itu.
Beberapa strategi yang bisa dilakukan:
2. Komunitas Digital Sehat
Counter-culture harus dibangun. Dunia digital tidak boleh hanya diisi oleh konten trivialisasi dan spekulasi.
Kita membutuhkan:
3. Regulasi Aksiologis
Regulasi sosial media harus berbasis nilai, bukan hanya prosedur teknis.
Platform seperti Meta, Google, dan X harus bertanggung jawab ketika iklan judi lolos ke layar pengguna. Mereka selama ini menikmati keuntungan dari traffic, tetapi mengabaikan kerusakan moral dan sosial yang terjadi.
Jika kejahatan terjadi melalui platform mereka, maka konsekuensi ekonomi pun harus ditanggung.
Fenomena judi online menunjukkan bahwa krisis moral kini hadir dalam format baru: krisis digital. Ia tak lagi menampakkan diri melalui perang atau konflik fisik, tetapi melalui kehancuran mental yang diam-diam.
Ketika manusia tidak lagi mampu menjaga diri dari impuls sesaat dan manipulasi algoritma, maka manusia sedang kehilangan hal paling esensial: kemanusiaannya yang adil dan beradab.
Pancasila lahir untuk menghadapi krisis moral serupa, meski dalam konteks berbeda. Kini, bangsa Indonesia membutuhkan Pancasila bukan sebagai dokumen sejarah, tetapi sebagai kompas etika di tengah gelombang teknologi.
Hanya dengan pendidikan moral yang relevan, regulasi yang berbasis nilai, dan komunitas digital yang sehat, kita dapat mengembalikan nalar, martabat, dan kemanusiaan kita yang mulai terkikis oleh budaya instan.
Di tengah derasnya kapitalisme media, Pancasila bukan sekadar warisan pendiri bangsa. Ia adalah perisai terakhir yang kita miliki.
Referensi:
Afrizal, D., Altamis, M. N., & Stevanus, S. (2025). Peran Pancasila dalam Menghadapi Judi Online yang Beredar di Masyarakat. Sindoro: Cendekia Pendidikan, 18(1), 411–420.
Detikcom. (2024, 20 Mei). TNI AL sebut Lettu Eko bunuh diri, sempat terlilit utang ratusan juta. Diakses dari detikNews.
Kominfo RI. (2023–2024). Data Pemblokiran Konten Judi Online.
Kompas.id. (2024, 6 Juni). Terulang lagi, prajurit TNI bunuh diri karena judi online. Kompas.id.
Laras, A., Salvabillah, N., Caroline, C., Dinda, F., & Finanto, M. (2025). Analisis Dampak Judi Online di Indonesia. Concept: Journal of Social Humanities and Education, 4(2), 140–151.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2023–2024). Rilis Data Satgas Pasti dan Pengaduan Konsumen.
Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri. (2024, 12 Juni). Bahaya judi: Suami dibakar, istri ditahan.
Populix. (2024). 84% pengguna internet Indonesia terpapar iklan judi online. Diakses dari Populix Insight Center.
PPATK. (2024). Siaran Pers Rilis Data Tahunan 2023.
Penulis : Martharia House
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)