OPINI | TD — Abad ke-21 di Indonesia semestinya menjadi era transparansi dan demokratisasi informasi. Namun, di tengah derasnya arus berita politik di media sosial, justru muncul fenomena paradoks: hadirnya buzzer politik sebagai aktor bayangan yang bekerja secara terstruktur. Mereka mampu mendisrupsi informasi, memanipulasi opini publik, bahkan menyebarkan ujaran kebencian dan fitnah. Kehadiran buzzer menjelma menjadi industri narasi yang berpotensi merusak prinsip akuntabilitas dan nilai demokrasi di Indonesia.
Membongkar narasi buzzer adalah tugas kolektif seluruh warga negara, terutama mahasiswa, untuk menjaga kredibilitas media sosial sebagai ruang publik yang sehat, baik saat ini maupun di masa depan.
Kehadiran buzzer politik di Indonesia bukanlah kebetulan. Awalnya, mereka digunakan sebagai “jalan pintas” bagi politisi untuk memperoleh simpati publik. Ada dua alasan utama mengapa fenomena ini berkembang pesat:
Skemanya sederhana namun efektif. Elite politik menyediakan dana besar. Buzzer lalu merancang narasi sesuai kepentingan klien—mendukung atau menyerang lawan—dan menyebarkannya melalui akun pribadi, anonim, maupun jaringan terorganisir.
Strategi mereka meliputi:
Hasilnya, publik terpengaruh, media massa ikut mengutip, dan opini publik terbentuk sesuai desain para buzzer.
Meski dampak buzzer sangat merugikan, penindakan pemerintah kerap terkesan setengah hati. Faktor utamanya adalah konflik kepentingan. Jaringan buzzer seringkali dipakai oleh elite politik yang berkuasa. Situasi ini membuat pemerintah berada dalam posisi sulit: menindak berarti merugikan diri sendiri.
Kelambanan ini berbahaya. Jika manipulasi digital terus dibiarkan, demokrasi bisa kehilangan kredibilitas dan suara rakyat makin terdistorsi oleh kepentingan politik sempit.
Eksistensi buzzer adalah “invasi senyap” yang merusak jantung demokrasi. Dampak negatifnya antara lain:
Narasi buzzer adalah “penyakit digital” yang sulit diberantas, hasil dari kemajuan teknologi namun kemunduran etika politik. Ancaman ini nyata bagi demokrasi Indonesia.
Oleh karena itu, mahasiswa harus menjadi agen utama dalam membangun imunitas kolektif, dengan melatih literasi digital kritis di masyarakat. Elite politik wajib berkomitmen pada etika berkompetisi yang sehat. Dan yang terpenting, pemerintah harus berani menindak tegas jaringan buzzer tanpa pandang bulu.
Sebagai warga negara, kita tidak boleh membiarkan realitas kolektif diatur oleh algoritma dan aktor bayaran. Masa depan demokrasi hanya akan terwujud bila praktik kotor buzzer dihentikan, dan seluruh elemen bangsa bersama-sama menegakkan kebenaran faktual di ruang publik.
Penulis: Saskia Nur Agiska, Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)