Ilustrasi dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) oleh penulis. OPINI | TD — Remaja kini hidup di tengah dunia tanpa batas. Dalam genggaman tangan, mereka bisa menjelajahi budaya dunia, mengadopsi gaya hidup baru, bahkan membentuk identitas diri lewat layar ponsel. Tetapi, di balik derasnya arus globalisasi, muncul pertanyaan besar yang mengusik nurani: apakah kemajuan ini sebanding dengan lunturnya moral generasi muda Indonesia?
Globalisasi menghadirkan kemudahan luar biasa: akses pengetahuan, teknologi, dan peluang karier terbuka lebar. Namun, di sisi lain, ia juga membawa efek samping yang tidak kalah serius — pergeseran nilai moral.
Remaja kini mudah terpapar gaya hidup hedonis, perilaku konsumtif, dan budaya instan yang kerap berlawanan dengan norma kesopanan khas Indonesia. Melalui media sosial, batas antara budaya lokal dan asing semakin kabur. Tak jarang, apa yang viral dianggap benar, dan apa yang populer menjadi patokan nilai.
Menurut Freud dalam Muslich (2011), kegagalan pembentukan karakter sejak dini akan berujung pada perilaku menyimpang di masa dewasa. Hal itu terbukti dari meningkatnya kasus tawuran pelajar, bullying, penyalahgunaan narkoba, hingga perilaku seks bebas. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis moral yang nyata di kalangan remaja.
Menyalahkan globalisasi atau teknologi semata tentu tidak adil. Akar persoalannya justru lebih kompleks. Setidaknya, ada empat faktor utama yang menjadi penyebab kemerosotan moral remaja:
Ningrum (2015) menyebut bahwa kemerosotan moral merupakan akibat dari lemahnya peran keluarga, pengaruh lingkungan, serta paparan teknologi tanpa filter nilai. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin generasi muda kehilangan jati diri dan arah.
Solusi krisis moral tidak bisa diselesaikan dengan sekadar larangan atau hukuman. Diperlukan pendekatan yang lebih manusiawi dan mendidik — yaitu pembinaan karakter dan penguatan nilai-nilai nasionalisme.
Kurniawan dkk. (2023) menekankan pentingnya menanamkan cinta tanah air, semangat gotong royong, dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Remaja perlu dibekali kesadaran bahwa menjadi modern bukan berarti kehilangan akar budaya. Nilai-nilai seperti kejujuran, empati, dan tanggung jawab harus menjadi fondasi dalam menghadapi dunia global.
Peran keluarga menjadi kunci utama. Orang tua perlu hadir, bukan sekadar menyediakan fasilitas, tetapi menjadi teladan moral yang nyata. Komunikasi hangat, perhatian tulus, dan kedekatan emosional akan menjadi benteng utama anak dari pengaruh negatif luar.
Globalisasi sejatinya bukan musuh. Ia bisa menjadi peluang besar bila diimbangi dengan kontrol moral yang kuat. Tantangan kita bukan menolak arus global, melainkan mengendalikannya agar tetap berpihak pada nilai-nilai luhur bangsa.
Di tengah derasnya modernisasi, pendidikan karakter harus menjadi prioritas — bukan pelengkap. Sekolah, pemerintah, dan masyarakat harus bekerja bersama membangun sistem pendidikan yang tidak hanya melahirkan manusia cerdas, tetapi juga manusia berkarakter.
Sebagai generasi muda dan calon pemimpin bangsa, remaja Indonesia harus belajar untuk “menjadi modern tanpa kehilangan akar.” Sebab sejatinya, kemajuan tanpa moral hanyalah ilusi peradaban.
Penulis: Riski Wulan Fitriyani
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)