Menguak Rahasia Perubahan Beras Menjadi Nasi: Proses Gelatinisasi yang Menentukan Tekstur

waktu baca 3 minutes
Selasa, 18 Nov 2025 10:03 0 Nazwa

IPTEK | TD — Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia. Kekayaan lahan suburnya menjadikan masyarakat Indonesia banyak yang berprofesi sebagai petani, terutama petani padi. Padi merupakan bahan baku utama beras, dan beras menjadi sumber karbohidrat utama bagi sebagian besar masyarakat. Menurut Situngkir et al. (2021), Indonesia adalah negara agrikultur dengan lahan agraris yang sangat luas, di mana 56% produksi padi berasal dari Pulau Jawa, disusul Sumatra (22%), Sulawesi (10%), Kalimantan (5%), dan pulau-pulau lainnya (7%).

Namun, pernahkah Anda bertanya bagaimana beras bisa berubah menjadi nasi saat dimasak? Mengapa bentuk, tekstur, dan sifat beras berubah secara drastis setelah proses pemanasan? Jawabannya terletak pada sebuah proses kimia penting bernama gelatinisasi pati.

Apa Itu Gelatinisasi? Proses Kimia di Balik Pemasakan Beras

Ketika beras dimasak, baik menggunakan dandang maupun rice cooker, butiran beras mengalami reaksi kimia tertentu. Proses ini disebut gelatinisasi, yaitu perubahan struktur granula pati akibat pemanasan. Rahman (2007) menjelaskan bahwa gelatinisasi merupakan proses yang irreversible, artinya perubahan tersebut tidak bisa kembali seperti semula. Itulah sebabnya, nasi yang sudah matang tidak bisa kembali menjadi beras mentah.

Selama proses pemanasan:

  • Granula pati menyerap air dalam jumlah besar
  • Struktur karbohidrat yang sebelumnya rapat menjadi renggang
  • Beras mengalami pembengkakan
  • Tekstur berubah menjadi lembut dan empuk

Perubahan inilah yang membuat beras keras berubah menjadi nasi yang lebih lunak dan mudah dicerna.

Peran Rice Cooker dan Proses Pemanasan

Masyarakat Indonesia umumnya memasak nasi dengan rice cooker. Ketika beras dimasak dan kemudian dihangatkan, terjadi perubahan daya cerna pati serta aktivitas antioksidan pada nasi. Pati yang awalnya berbentuk suspensi keruh berubah menjadi bening karena air diserap oleh granula pati.

Menurut Oktavianasari et al. (2022), pembengkakan granula pati terjadi karena air yang masuk ke dalam granula membuat rantai karbohidrat saling menjauh. Perubahan ini berkontribusi pada pengembangan volume beras menjadi nasi.

Mengapa Ada Nasi Pulen dan Pera? Ini Jawabannya

Tekstur nasi sangat dipengaruhi oleh kandungan amilosa pada beras. Amilosa adalah salah satu komponen pati selain amilopektin.

  • Beras dengan kadar amilosa tinggi → nasi pera/keras
  • Beras dengan kadar amilosa rendah → nasi pulen dan lengket

Dewi (2023) menegaskan bahwa semakin tinggi kadar amilosa, semakin tinggi pula kemampuan beras menyerap air. Hal ini membuat butiran nasi menjadi lebih terpisah dan tidak lengket. Sebaliknya, beras dengan kadar amilosa rendah menghasilkan nasi yang lembut dan menyatu—yang umum disebut nasi pulen.

Kesimpulan: Nasi Berkualitas Ditentukan oleh Bahan dan Proses

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses perubahan beras menjadi nasi tidak hanya ditentukan oleh teknik memasak, tetapi juga melibatkan proses kimia kompleks berupa gelatinisasi pati. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh:

  • Suhu pemanasan
  • Penyerapan air
  • Kandungan amilosa dalam beras

Dengan memahami faktor-faktor ini, kita dapat memilih jenis beras yang sesuai kebutuhan dan mengoptimalkan proses memasak agar mendapatkan nasi dengan kualitas terbaik—baik yang pulen maupun yang pera sesuai selera.

Referensi

– Dewi, K. T. (2023). Penetapan Kadar Amilosa Pada Beberapa Beras Hitam (Oryza Sativa L.) Lokal Jawa Barat. Jurnal Teknologi Pangan dan Ilmu Pertanian, 1(2), 64–69.

– Oktavianasari, R. R., Damat, D., & Manshur, H. A. (2022). Kajian karakteristik fisikokimia dan organoleptik beras analog. Food Technology and Halal Science Journal, 5(2), 125–136.

– Rahman, A. M. (2007). Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan Mocaf. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

– Situngkir, N. C., Sudana, I. M., & Singarsa, I. D. P. (2021). Pengaruh Jenis Bakteri PGPR… Jurnal Agroekoteknologi Tropika, 10(2), 233–243.

Penulis: Ahmad Azis Nurrahman,
Mahasiswa Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA