Makanan panas lebih harum karena suhu tinggi mempercepat pelepasan senyawa aroma ke udara, memperkuat reaksi pembentuk flavor, dan membantu aroma lebih mudah tercium oleh indra penciuman. (Foto: Freepik)TEKNO | TD — Pernahkah kamu menyadari bahwa nasi goreng yang baru selesai dimasak terasa jauh lebih harum dibandingkan ketika sudah dingin? Atau mengapa aroma sup panas begitu menggugah selera, sementara ketika suhunya turun, wanginya hampir menghilang? Fenomena sederhana dalam kehidupan sehari-hari ini ternyata memiliki penjelasan ilmiah yang menarik. Aroma makanan erat hubungannya dengan bagaimana senyawa volatil atau senyawa aroma bergerak dan dilepaskan. Proses inilah yang berubah drastis ketika makanan masih panas atau sudah dingin.
Sebelumnya kita perlu memahami apa itu flavor. Banyak orang mengira flavor hanyalah rasa, padahal flavor sebenarnya adalah gabungan antara rasa di lidah dan aroma yang tercium oleh hidung. Rasa hanya mengenali lima sensasi dasar yaitu manis, asin, pahit, asam, dan umami. Namun aroma yang ditangkap oleh ratusan reseptor penciuman membentuk 70–80% pengalaman menikmati makanan. Itulah mengapa makanan yang kita konsumsi saat sedang pilek terasa hambar, karena hidung tidak dapat menangkap molekul aroma.
Nah, aroma sendiri dipengaruhi oleh suhu. Ketika makanan berada dalam kondisi panas, reaksi kimia dan fisika di dalamnya berlangsung lebih aktif, terutama pada senyawa volatil. Menurut Hossain et al. (2025), senyawa volatil adalah molekul beraroma yang mudah menguap, seperti aldehid, ester, alkohol, keton, dan senyawa sulfur. Ketika makanan dipanaskan, energi panas membuat molekul-molekul ini bergerak lebih cepat dan lebih mudah lepas ke udara. Proses ini disebut volatilization, atau penguapan senyawa aroma.
Misalnya, ketika kamu memanaskan soto, molekul aroma seperti senyawa bawang, jahe, dan serai akan lebih mudah terlepas dan menyebar ke udara. Itulah mengapa aroma masakan yang sedang direbus atau digoreng bisa menyebar ke seluruh ruangan. Sebaliknya, ketika makanan tersebut dibiarkan dingin, senyawa volatil tidak lagi mendapat energi untuk menguap sehingga aromanya menjadi jauh lebih lemah (Pardede et al., 2020).
Makanan hangat memudahkan aroma mencapai hidung kita secara lebih intens. Udara panas naik ke atas, membawa molekul aroma bersamanya. Saat makanan panas disajikan, gelombang udara hangat tersebut naik dan langsung membawa aroma ke hidung, membuat kita mencium wangi yang lebih kuat. Begitu makanan mendingin, aliran udara ini berhenti, dan aroma pun tidak lagi naik secara alami ke arah hidung.
Fenomena lain yang memperkuat aroma makanan panas adalah perubahan struktur makanan selama pemanasan. Ketika makanan dipanaskan, protein, lemak, dan karbohidrat mengalami perubahan struktur yang dapat menghasilkan senyawa aroma baru. Contoh yang paling terkenal adalah reaksi Maillard, interaksi antara protein dan gula yang menyebabkan aroma khas pada roti panggang, nasi goreng, atau daging panggang. Reaksi ini jauh lebih aktif pada suhu tinggi dan menghasilkan ratusan senyawa aroma kompleks yang tidak muncul pada makanan dingin.
Faktor fisiologis juga berperan. Indra penciuman bekerja lebih baik ketika menghirup udara hangat yang membawa molekul aroma dibandingkan udara dingin. Saat makanan panas disajikan, kita biasanya lebih dekat dengan uap yang naik, sehingga intensitas penciuman meningkat. Sebaliknya, makanan dingin tidak menghasilkan uap sehingga indra penciuman hanya menangkap sedikit molekul aroma yang dilepaskan.
Es krim, buah segar, minuman dingin, dan yogurt justru memiliki profil aroma yang enak dalam keadaan dingin karena senyawa aromanya lebih stabil pada suhu rendah, dan kelezatannya bergantung pada sensasi sejuk. Namun untuk sebagian besar makanan matang—terutama yang dipanggang, ditumis, atau direbus—panas adalah kunci keluarnya aroma paling maksimal. Dengan memahami semua ini, kita jadi tahu bahwa keharuman makanan bukan sekadar soal rasa, tetapi hasil kerja kompleks antara panas, molekul, dan indra manusia.
Hossain, M. S., Wazed, M. A., Asha, S., Hossen, M. A., Fime, S. N. M., Teeya, S. T., … & Shimul, I. M. (2025). Flavor and Well‐Being: A Comprehensive Review of Food Choices, Nutrition, and Health Interactions. Food Science & Nutrition, 13(5), e70276.
Pardede, D. E., Febrianti, D., & Putri, R. M. S. (2020). Karakteristik organoleptik flavor alami dari air rebusan kepala ikan tongkol (Euthynnus affinis). Jurnal Teknologi Pertanian, 9(2), 43–52.
Penulis: Zaynan Nabilah – Mahasiswa Teknologi Pangan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (*)