Marie Antoinette dan Erina Gundono: Sejarah yang Terulang dalam Ketidakpedulian Elit

waktu baca 3 menit
Selasa, 26 Nov 2024 20:00 0 133 Redaksi

OPINI | TD — Marie Antoinette, ratu terakhir Prancis sebelum terjadinya Revolusi Prancis, dikenal luas karena gaya hidupnya yang mewah. Meskipun menyadari penderitaan yang dialami rakyat Prancis pada masa itu, ketidakpeduliannya justru memicu kemarahan rakyat dan berkontribusi pada terjadinya revolusi. Belakangan ini, nama Marie Antoinette kembali menjadi perbincangan di kalangan masyarakat Indonesia, terutama setelah sosoknya dikaitkan dengan Erina Gundono, istri Kaesang Pangarep, putra bungsu mantan Presiden Joko Widodo. Diskusi ini muncul karena terdapat kesamaan antara situasi Prancis di bawah kepemimpinan Marie Antoinette dan keadaan Indonesia saat ini, yang mencerminkan ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah yang dianggap tidak peka dan kurang responsif terhadap kesulitan sosial dan ekonomi.

1. Gaya Hidup Mewah

Marie Antoinette dikenal dengan gaya hidupnya yang sangat mewah, yang membangun pandangan negatif di kalangan masyarakat. Kehidupannya yang penuh foya-foya kontras dengan keadaan Prancis yang mengalami kesulitan ekonomi dan inflasi. Di Indonesia, kritik masyarakat mengarah kepada pejabat-pejabat yang terlihat hidup dalam kemewahan, sementara banyak pekerja berjuang melawan masalah ekonomi dengan gaji yang minim. Kasus Erina Gundono dapat dijadikan contoh, di mana Erina dan Kaesang Pangarep menunjukkan kemewahan saat berkunjung ke Amerika Serikat. Salah satu unggahan Erina memperlihatkan penggunaan private jet, menciptakan kesan bahwa para pemimpin tidak memahami atau peduli terhadap kondisi masyarakat yang mereka pimpin.

2. Tidak Peka Terhadap Kondisi Masyarakat

Marie Antoinette dianggap tidak peka terhadap penderitaan rakyatnya, yang menghadapi kelaparan dan kemiskinan. Rumor mengenai pernyataannya, “let them eat cake,” menjadi simbol ketidakpeduliannya yang menciptakan ketidakpuasan dan kemarahan di kalangan rakyat, akhirnya memicu Revolusi Prancis. Di sisi lain, Erina Gundono seringkali dipandang boros dan pamer gaya hidup mewah, terutama saat ia mengunggah foto belanja barang-barang mahal dan menikmati makanan dengan harga selangit. Salah satu momen tersebut adalah ketika ia mengunggah foto menyantap roti seharga Rp 400.000,-. Perilaku ini dinilai tidak etis oleh masyarakat, mengingat posisinya sebagai putra dan menantu Presiden Republik Indonesia.

3. Simbol Kelas Atas

Baik Marie Antoinette maupun Erina Gundono berfungsi sebagai simbol kelas atas yang terpisah dari realitas rakyat biasa. Marie Antoinette sering dipandang sebagai representasi elit yang tidak memahami kesulitan yang dihadapi rakyatnya, sementara Erina dianggap sebagai contoh elit modern yang menikmati kehidupan glamor di tengah kesulitan sosial. Kesamaan ini menunjukkan bagaimana kedua sosok, meskipun berasal dari konteks sejarah yang berbeda, memiliki dampak serupa dalam pandangan masyarakat terhadap elit dan tanggung jawab sosial mereka.

Marie Antoinette sering dianggap sebagai simbol ketidakpekaan elit terhadap penderitaan rakyat. Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, gaya hidupnya yang mewah menjadi pemicu kemarahan masyarakat, mencerminkan kesenjangan yang besar antara penguasa dan rakyat jelata. Sikapnya menunjukkan bagaimana ketidakpedulian terhadap realitas sosial dapat memperburuk krisis, menimbulkan ketegangan yang akhirnya meledak dalam bentuk Revolusi Prancis.

Dalam konteks modern, kritik terhadap elit dengan pola serupa kembali muncul, menyoroti pentingnya kepekaan sosial di tengah tantangan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Ketika para pemimpin atau figur publik menunjukkan kemewahan yang dianggap tidak sejalan dengan kondisi rakyat, hal ini memicu perasaan ketidakadilan dan ketidakpuasan. Situasi ini mengajarkan bahwa para elit, baik di masa lalu maupun saat ini, memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan empati dan kesadaran terhadap keadaan sosial demi menjaga kepercayaan dan stabilitas masyarakat.

Penulis: Fildza Dyahvinzi Wijaya, mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA