OPINI | TD — Di masyarakat, diskusi mengenai durhaka sering kali tertuju pada ketidakpatuhan anak kepada orang tua. Namun, sebuah kenyataan yang menyedihkan sering kali terabaikan: orang tua juga dapat menimbulkan luka yang mendalam pada anak-anak mereka, luka yang tidak terlihat, tetapi dampaknya sangat nyata dan dapat bertahan lama.
Artikel ini akan membahas fenomena ini, memandangnya dari perspektif agama Islam, psikologi, dan pengalaman nyata, dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran serta mendorong upaya pencegahan dan penyembuhan.
Durhaka orang tua terhadap anak tidak hanya berupa tindakan fisik yang jelas seperti kekerasan. Ia muncul dalam berbagai bentuk yang lebih halus, tetapi tetap merusak. Pengabaian emosional, di mana anak merasa tidak dicintai, diabaikan, dan tidak dihargai, merupakan salah satu bentuk durhaka yang paling menyakitkan.
Anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua akan mengalami kesulitan dalam membangun rasa percaya diri, menjalin hubungan yang sehat, dan mencapai potensi maksimalnya.
Kegagalan dalam memberikan pendidikan dan arahan yang tepat juga merupakan bentuk durhaka. Orang tua yang lalai mendidik anak, baik dari segi agama, moral, maupun intelektual, menciptakan celah besar dalam perkembangan anak.
Anak yang tidak mendapatkan bimbingan akan rentan terhadap pengaruh negatif dan mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan.
Perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif antar anak juga termasuk dalam kategori durhaka. Membandingkan anak, memberikan perlakuan yang tidak seimbang, atau menunjukkan favoritisme dapat menimbulkan rasa tidak aman, kecemburuan, dan permusuhan antara saudara. Hal ini dapat berdampak negatif pada hubungan antar saudara serta kesejahteraan emosional mereka.
Kekerasan verbal, meskipun tidak meninggalkan dampak fisik, dapat mengakibatkan trauma emosional yang serius. Ucapan yang menyakitkan, ejekan, dan penilaian yang berlebihan dapat menghancurkan rasa percaya diri anak, menimbulkan ketidakpercayaan pada diri sendiri, serta memicu gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.
Islam sangat menekankan nilai kasih sayang, keadilan, dan pendidikan yang baik dalam konteks keluarga. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 31, terdapat larangan bagi orang tua untuk menghilangkan nyawa anak, namun hal ini juga menggarisbawahi tanggung jawab orang tua untuk merawat dan melindungi anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Ini meliputi pemenuhan kebutuhan fisik, emosional, dan spiritual anak. Pengabaian terhadap kebutuhan tersebut, baik dengan sengaja maupun akibat kelalaian, bisa dianggap sebagai bentuk ketidaktaatan.
Hadits Rasulullah SAW yang menekankan tanggung jawab kepemimpinan, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya,” (HR. Bukhari dan Muslim) menegaskan betapa besarnya tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya. Mereka akan diminta pertanggungjawaban atas cara mereka membesarkan, mendidik, dan memperlakukan anak-anak di hadapan Allah SWT.
Para ulama, seperti Mamah Dedeh dan Ustaz Abdul Somad, terus menekankan pentingnya kasih sayang dan keadilan dalam mendidik anak.
Mereka mengingatkan bahwa kekerasan, pengabaian, dan perlakuan yang tidak adil dapat berdampak buruk pada kehidupan anak baik di dunia maupun di akhirat. Mereka menyerukan kepada orang tua untuk selalu melakukan introspeksi dan memperbaiki kesalahan jika telah menyakiti anak-anak mereka.
Trauma yang disebabkan oleh orang tua dapat memberikan pengaruh yang berkepanjangan dalam kehidupan anak. Anak yang mengalami pengabaian emosional, penyalahgunaan verbal, atau perlakuan yang tidak adil biasanya akan memiliki rasa percaya diri yang rendah, kesulitan dalam membangun hubungan sosial, serta lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Mereka juga mungkin kesulitan dalam mencapai potensi penuh mereka, baik dalam bidang pendidikan, karier, maupun kehidupan pribadi. Siklus kekerasan dan trauma dapat berlanjut dari generasi ke generasi jika tidak ditangani dengan baik.
Memperbaiki hubungan yang rusak dan menyembuhkan luka masa lalu memerlukan upaya yang konsisten serta komitmen yang kuat dari semua pihak. Terapi, konseling, dan dukungan kelompok dapat membantu individu dalam memproses trauma masa lalu dan membangun mekanisme koping yang sehat.
Pendidikan mengenai pengasuhan anak yang positif, komunikasi yang efektif, dan manajemen stres juga sangat penting untuk mencegah terjadinya durhaka.
Menciptakan lingkungan yang penuh kasih dan mendukung di dalam keluarga juga sangat penting. Komunikasi yang terbuka, jujur, dan empati adalah kunci dalam membangun hubungan yang sehat.
Memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan perasaan serta kebutuhannya tanpa takut dihakimi juga menjadi bagian integral dalam proses penyembuhan.
Mengakhiri siklus kekerasan dan trauma memerlukan kesadaran, keberanian, dan komitmen untuk berubah. Dengan memahami dampak dari durhaka orang tua terhadap anak dan mengambil langkah-langkah yang tepat, kita dapat menciptakan generasi masa depan yang lebih sehat, bahagia, dan penuh potensi. Luka yang tersembunyi dapat disembuhkan, dan masa depan yang lebih cerah dapat diraih.
Penulis: Pandu Prasetya, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)